16. The Kiss

31.4K 2.4K 108
                                    

Palang pintu otomatis yang menjadi jalur masuk kawasan apartemen di bilangan Jakarta Barat itu terbuka. Kendaraan roda empat yang dikendarai Arsen dan Mia memasuki pelataran parkir dan berhenti di salah satu space kosong.

"Masih sakit?" tanya Arsen ketika melihat Mia tampak kesulitan berjalan usai turun dari mobilnya.

Mia mengangguk. "Padahal tadi nggak terlalu kerasa," ujarnya.

"Ya udah aku antar sampe dalem," ucap Arsen, lalu membimbing Mia menuju unit apartemennya.

Ketika sampai di unit apartemen Mia, dengan bantuan Arsen akhirnya Mia berhasil sampai dan duduk di sofa ruang tamu.

Arsen berlutut untuk melihat kondisi kaki wanita itu.

"Ini nggak bisa dibiarin gitu aja. Bisa makin parah kalo nggak dirawat. Deket sini, apotek di mana? Biar aku cariin obat dulu," kata Arsen setelah melihat pergelangan kaki Mia yang mulai terlihat agak bengkak.

"Nggak usah, udah malem. Aku nitip Tonny aja. Besok pagi dia ke sini."

"Kelamaan kalo nunggu besok pagi. Lagian ini gara-gara aku juga, ngajak kamu keluar." Arsen mendongak, menatap Mia. "Udah, kamu tunggu sini. Aku ke apotek bentar."

Melihat Arsen bersikeras, akhirnya Mia mengangguk. Ia menyaksikan Arsen keluar unit apartemennya demi mencarikannya obat. Ditariknya napas panjang, lalu ia hembuskan. Diam-diam, diurainya lagi momen-momen yang dilewatinya bersama Arsen sejak sore tadi.

Rindu yang bermuara, rasa nyaman, gelora yang menghidupkan. Semua dirangkumnya dalam sebentuk senyuman. Mia tahu ke mana arah hubungan ini berjalan. Ia pun sadar posisinya dan Arsen sekarang. Namun, jika ada satu buah kartu keberuntungan untuknya berharap, bolehkah ia menggunakannya sekarang? Ia sudah terlalu banyak bertumpu pada lemparan kartu buruk.

Sekali saja, Mia ingin nasib memihaknya. Sekali lagi, ia mau membiarkan hatinya bersemi.

Tidak sampai lima belas menit, Arsen kembali memasuki apartemen Mia bersama kantung plastik berlogo apotek.

"Sori. Lama, ya?" tanya Arsen yang melihat Mia menyandarkan kepalanya di sofa dalam keadaan mata terpejam. Napasnya masih tersengal.

Arsen pasti berjalan terburu-buru demi cepat sampai sini, pikir Mia.

"Coba sini, aku lihat." Arsen berlutut di hadapan Mia.

"Ini obat apa?"

"Salep pereda nyeri, sama anti bengkak. Katanya tadi sih mending kasih ini." Arsen mulai membuka kemasan obat yang dibelinya, lalu mengoleskannya ke pergelangan kaki Mia sambil sedikit mengurutnya.

Detik demi detik, kesunyian menelan keduanya. Mia menggenggam tangannya. Entah kenapa tubuhnya kaku seperti papan.

"Coba rileks dikit." Arsen mencoba menggerakkan pergelangan kaki Mia. Laki-laki itu mendongak. "Udah mendingan?"

"Dikit," balas Mia.

Arsen menyudahi kegiatannya, lalu duduk di samping Mia. "Dulu waktu kamu masuk UKS gara-gara jatoh pas olahraga, terus kaki kamu dijahit sama perawat, kamu diem aja kayak kaki kamu mati rasa."

Mia menoleh. "Kamu emang ada di sana? Aku nggak inget." Ia mencoba mengurai kenangan itu dalam kepalanya. "Kayaknya belum kenal kamu juga. Kamu 'kan anak baru."

Arsen tertawa. "Itu titik aku mulai merhatiin kamu, Mia. Selain dari lukisan kamu."

Mia menatap Arsen. Ia ingin bertanya banyak. Namun, tidak ada yang berhasil ia suarakan. Ia justru terpikat dalam kedamaian dua manik hitam milik Arsen yang tampak sendu.

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang