50. We aren't we

23.8K 2.4K 2.5K
                                    

Mia yang semula menunduk, kini mengangkat wajahnya untuk menatap lelaki di hadapannya. Jantungnya mulai berpacu.  "Aku ..., tadi naik pake kartu akses yang kamu kasih," terang Mia. Kedua tangannya meremat tali tasnya lebih kuat, lalu kembali bicara. "Bisa ngomong sebentar?"

Arsen yang sempat membeku, akhirnya menekan sandi yang mengunci pintu apartemennya.

Mia melihat semuanya. Kombinasi angkanya masih sama, menyelipkan tanggal lahirnya. Tiba-tiba mulut Mia rasanya semakin pahit.

"Masuk," kata Arsen begitu pintu terbuka.

Begitu menginjakkan kaki ke dalam, kecanggungan langsung membekap keduanya. Mia menatap sekeliling. Tidak banyak yang berubah. Arsen tergolong pria yang rapi, baik sebelum Mia tinggal di sini, maupun saat Mia menjadi penghuni unit ini.

Mata Mia menangkap sisa cangkir dan bungkus kopi di atas meja. Ia menelan ludah. Bahkan Arsen sekarang meminum kopi instan. Mulutnya hendak berucap sesuatu, tapi keraguan membungkamnya. Ia pun duduk di sofa tanpa bersuara.

"Kamu ke mana aja?" Suara Arsen memecah keheningan dalam ruang itu.

Pertanyaan tersebut seketika memunculkan kilas balik semua kejadian beberapa waktu lalu. Masih berat untuknya merangkai kalimat. Namun, ia akan memulainya dari sini. "Aku ke tempat Helen. Dia punya villa di Dago," katanya lirih.

Arsen tertawa masam. "Aku udah ngira. Tapi semua bilang kamu nggak di sana."

Mendengar balasan sinis Arsen, Mia buru-buru memberi penjelasan. "Aku yang minta Helen buat bohong sama kamu."

Arsen memandangi jemari Mia yang sedari tadi meremas ujung tali tasnya. Arsen hafal gelagat Mia yang seperti ini. Mia yang tampak resah.

Biasanya ia akan menggenggam tangan itu, memberikan ketenangan. Seharusnya demikian. Namun, kali ini keduanya bertahan pada diri masing-masing.

"Gimana kabar kamu?" tanya Arsen, berusaha melontarkan kalimat paling santai dan masuk akal.

Sudut bibir Mia terangkat. "Lebih baik dari terakhir kali kita ketemu."

Hari itu. Tentu saja Arsen ingat.

"Kamu gimana?" Mia mengambil alih. Bibirnya ia gigit sedikit ketika bicara.

Arsen menatap Mia. Tenggorokannya serak bahkan hanya untuk mengucap satu huruf. Arsen ingin memastikan Mia baik-baik saja, dengan memperhatikan kondisinya secara keseluruhan. Namun, semakin Arsen melihat menyeluruh, semakin Arsen merindukan semuanya. Tubuh yang biasa ia peluk, puncak kepala yang biasa ia kecup, kesan hangat ketika mereka saling mendamaikan dan menguatkan saat dilanda kekacauan seperti dulu...

Arsen merindukan semuanya. Bahkan detik ini, ia mati-matian menahan agar tidak menarik tubuh Mia ke dalam rengkuhannya.

"I'm dying," cetus Arsen. Satu kalimat yang menggambarkan semuanya. "Aku nggak tahu aku ngapain dan untuk apa. Sampai sekarang." Ia menghela napas. "Sampai akhirnya aku lihat kamu. Kamu yang utuh." Ucapan Arsen terhenti. Ia mengusap wajahnya, sebelum kembali bicara. "Yeah, utuh. Rasanya khawatir dan takutku lenyap seketika."

Mia memalingkan wajah untuk beberapa detik. Matanya memanas. Ia mencengkram tasnya kuat-kuat. Sudah seberapa jauh ia melangkah untuk menyelesaikan tahap ini? Berapa banyak lagi luka dan sakit yang harus ia tahan sampai akhirnya tahap ini tuntas? Mendengar kalimat Arsen saja, ia tidak tega. Seolah ia ingin menghambur ke pelukan lelaki itu dan bilang --kita jalani aja apa yang ada-- lalu bersandar lama dalam dunia yang Arsen ciptakan untuknya.

Tapi tidak. Ia sudah bertekad untuk tidak menggali ceruk luka di keduanya semakin dalam.

Mia menelan ludah getir, kemudian kembali bersuara. "Berat buat aku..." Kalimat itu terputus, mengambang di udara. Mia tidak bisa melanjutkan.

Arsen menghindari tatapan mata Mia yang kini terlihat memerah. "Kamu pilih ...., yang nggak terlalu menyakitkan buat kamu," ujar laki-laki itu.

Mia mengusap pipinya. Sial! Entah sejak kapan, tahu-tahu air mata sudah menerobos keluar dari matanya. "Rasa sakit ini... sampai kapan kita harus berteman sama rasa sakit ini? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun lagi? Aku takut kita bahkan bisa nyakitin orang yang nemenin kita nanti."

Satu alis Arsen terangkat. "Kamu udah ada pengganti?"

Mia menggeleng cepat. Jangankan pengganti. Ia masih bisa waras setelah ini saja, sudah sangat baik.

Ada kelegaan dalam batin Arsen. Tidak mungkin memang. Melihat Mia yang sekarang, mustahil perempuan itu memikirkan pengganti. Saat dilihatnya Mia sudah basah, Arsen makin berjuang menahan untuk tidak berlutut di hadapan perempuan itu dan mengusap air matanya.

"Aku nggak mau nuntut kamu untuk nyoba lagi, Mia. Udah cukup aku ngelihat kamu sakit."

Mia mencoba menstabilkan suara dan emosinya. "What about you?" tanyanya, menahan sesenggukan.

"Apa aku kelihatan kayak orang yang nggak mengharapkan kamu pulang? Berharap buat ngelihat kamu lagi setelah hari itu, adalah alasan aku masih di sini sekarang."

"Maafin aku," balas Mia, semakin lirih.
Tangannya bergerak mengusap air matanya. "Kita ..., jangan diterusin ya, Sen?"

Kini giliran mata Arsen yang memanas. Ia tidak ingin Mia terguncang seperti ini. Jika memang Mia pergi, ia berharap Mia meninggalkannya dengan senyuman. Meski itu sama saja membunuhnya.

Arsen meremat tangannya. Nyeri mendera pangkal tenggorokannya. "Janji sama aku. Kamu nggak terpuruk lagi, apapun yang kamu hadapi nanti. Janji sama aku, kamu bakal hidup lebih baik."

----------------------------------to be continued

But I can't fall in love without you
I can't fall in love without you
I can't fall in love without you
I can't fall in love without you
Please, don't fall in love without me

Zarra Larsson - I can't fall in love without you

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang