17. Rasa Mendua

31K 2.3K 88
                                    

*baca duluan HEROIN di karyakarsa : Buat tim ga sabar nunggu, aku udah upload Heroin di karyakarsa sampai BAB 45 ya, dan akan TAMAT minggu ini :)

******

Kertas-kertas ulangan menumpuk bersamaan dengan bel istirahat berbunyi. Waktu mengerjakan ulangan harian sudah habis. Satu-dua siswa berlari demi mengejar guru yang siap membawa lembar jawaban itu ke kantor.

Arsen yang berada di luar karena sudah mengumpulkan jawabannya beberapa menit lalu, kembali ke kelas. Ia mengambil ponselnya yang tadi dikumpulkan di kotak dekat meja guru, kemudian buru-buru keluar.

"Buru-buru amat, Sen. Udah laper banget, ya?" tanya Angga, teman sebangkunya, sembari meregangkan otot-ototnya setelah satu jam duduk tegang mengerjakan soal ulangan geografi.

"Moza. Katanya dia di UKS dari jam pertama tadi."

"Oh..."  Angga mengangguk-angguk. "Mau gue temenin?" tanyanya.

Arsen menggeleng. "Nggak usah. Kalian ke kantin aja."

Rupanya di belakangnya Angga berdiri Zaki dan Yusuf yang sudah bersiap untuk ke kantin. Tampang kelaparan tercetak di wajah mereka. Namun, Zaki masih sempat berceloteh.

"Ngaco lo, Ngga. Orang mau pacaran kok mau lo temenin."

Arsen cuma tersenyum mendengar ocehan teman-temannya yang selalu mengira ia dan Moza pacaran. Selama satu minggu pertamanya sejak bersekolah di sini, Arsen memang selalu ke kantin bareng geng-nya Angga. Sebagai teman sebangku, Angga merupakan orang pertama yang dikenal Arsen. Tentu saja Moza tidak masuk hitungan. Moza dan Arsen sudah saling mengenal bahkan saat keduanya baru bisa berjalan.

Mereka sempat bersekolah di SD yang sama, sebelum akhirnya Arsen menghabiskan masa SMP - juga satu tahun SMA- nya dengan menjalani home schooling karena suatu alasan.

Tanpa berlama-lama, Arsen berjalan menuju UKS. Ia sedikit khawatir. Moza yang dikenalnya adalah sosok cuek bebek yang sering meremehkan sakit. Pernah suatu waktu, saat dokter menyuruh Moza istirahat dan tidak masuk sekolah, gadis itu malah mengikuti seminar yang mengundang pembicara faforitnya. Intinya, kalau masalah sepele, Moza masih bisa tahan. Nggak mungkin ke UKS segala.

Arsen tiba di UKS. Di dalam, terdapat dua tempat tidur yang dipisah oleh tirai warna biru muda. Langkah Arsen terhenti mendapati fenomena yang dilihatnya. Di tempat tidur yang terletak di dekat pintu, duduk seorang cewek berseragam olahraga dengan celana bagian bawahnya yang digulung sampai atas lutut. Darah memenuhi kain kassa juga kapas yang kini telah disisihkan di dalam baskom. Sementara petugas medis sekolah melakukan perawatan terhadap lukanya.

Itu bukan luka kecil. Rasanya pasti sakit sekali, pikir Arsen. Melihatnya saja Arsen sudah ngeri. Namun, tidak dengan cewek itu. Ia justru diam tanpa menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Jangankan berteriak atau mengaduh, meringis atau menggigit bibir untuk menahan sakit saja tidak. Alih-alih kesakitan, raut yang tercermin dari wajahnya adalah raut lelah. Raut itu... Arsen seperti familiar dengan raut dan reaksi serupa.

Beberapa tahun lalu. Ketika mendiang mamanya mengalami cidera akibat kecelakaan mobil. Esok harinya, mamanya tampil prima tanpa menampakkan kekurangan apapun. Padahal saat hasil ronsen keluar, terdapat pergeseran di bahu dan pergelangan kaki mamanya.

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang