30. Best Friend's rule

20.3K 2K 450
                                    

- 12 tahun lalu, di rumah duka -

"Papa mau ke mana? Mama baru aja dimakamkan," kata Arsen ketika melihat papanya berkemas.

"Papa ada urusan penting sama klien. Oh iya. Kamu bantu Pak Arfan siapin berkas buat kamu daftar homeschooling."

"Homeschooling? Buat SMA?" tanya Arsen.

Papa menggeleng. "Bulan ini."

Arsen mengerutkan keningnya. "Pa, Arsen jadi ketua panitia festival band di sekolah. Mana bisa Arsen ninggalin gitu aja dan pindah homeschooling?"

"Setelah media mulai mengulik soal kematian mama kamu, kamu nggak bakal masuk ke sekolah lagi. Lagian, kepanitiaan udah sering kamu ikuti dari awal masuk OSIS. Papa yang bilang ke guru kamu, kalo kamu harus pindah," ucap papanya, kemudian meninggalkan putranya begitu saja. Tanpa pamit, tanpa titip pesan untuk anak-anaknya yang lain, bahkan tanpa memperlihatkan raut duka.

Rahang Arsen mengeras. Kala itu ia berusia lima belas tahun. Ia mengamati rumahnya yang dipadati orang-orang bukan dari keluarganya. Enand dan Irene dibawa pergi untuk sementara ke rumah Oma. Sementara ia tinggal sendiri, menatap kamera wartawan yang mengintai dari balik pagar.

Mama Arsen adalah model papan atas tanah air. Kematiannya yang mendadak dan terkesan misterius memancing seluruh media untuk memusat pada keluarga itu. Keluarga yang dikepalai oleh seorang pengacara ternama sebagai kepala keluarga. Garis keturunan dari petinggi negara di masa lalu juga membuat keluarga itu semakin menjadi sorotan.

Arsen remaja berbaring malas di kamarnya. Ia meraih ponselnya, kemudian mengirimkan pesan ke Moza.

Arsen : Lo di rumah, Moz?

Moza : ya, baru pulang dari pemakaman nyokap lo nih

Arsen : gue nginep sana ya malam ini?

Moza : boleh... bawain dvd yang kemarin ya. Gue belum sempat nonton

Arsen : oke...

Keduanya pun berakhir maraton film di kamar Moza. Sejak kecil, Arsen dan Moza memang sudah terbiasa tidur di kamar satu sama lain. Jadi, bukan hal baru lagi bagi keduanya untuk menghabiskan malam bersama dengan belajar, main game, karaoke, atau menonton film.

Arsen tengah berbaring sambil memakan donut, ketika Moza yang beberapa saat lalu pamit ke kamar mandi, berteriak memanggilnya.

"Sen..."

"Hmm..." Arsen berdehem, masih mengunyah donutnya.

"Ambilin pembalut dong di laci."

"Laci mana?" tanya Arsen, bangkit dari posisinya.

"Meja rias. Yang ukuran 30 senti ya... hari pertama soalnya."

Arsen berjalan ke meja rias warna putih yang terletak di dekat jendela. Tangannya mulai merogoh isi laci. "Yang mana sih? Adanya yang 22 senti."

"Ish.. yang itu Bibi salah beliin, nggak ada sayapnya. Yang panjang ada kok. Cariin!" teriak Moza, yang masih berada di kamar mandi.

"Yaelah, apa bedanya sih? Sama-sama buntelan kapas."

Moza berdecak. "Ya beda... lo pas pacaran sama Vero dulu nggak pernah dijelasin?"

"Nggak. Lagian ngapain, pacaran bahas beginian? Emang kelas reproduksi?"

Moza tergelak. "Pacaran lo masih polos ya."

"Yang nggak polos tuh gimana? Lagian gue sama dia juga cuma bentar doang. Awal-awal kelas delapan."

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang