2. Sepasang Masa Lalu

71.3K 5.4K 289
                                    

Sepuluh tahun. Apa saja yang bisa berubah pada diri perempuan dalam waktu sepuluh tahun?

Cara berpakaian, cara berjalan, fisik, suara, cara bersikap dan berpikir? Sial! Arsen tidak berhenti mengamati gadis yang kini tengah berbincang bersama salah seorang tamu lain di sudut gedung.

Otak Arsen membedah pertanyaannya itu satu per satu... Penampilan. Seragam sekolah atau jins belel yang dulu sering dilihatnya kini berubah menjadi dress selutut dengan sedikit bagian transparan di bagian bahu. Rambut yang dulunya sering diikat asal ke belakang, kini diurai dan ditata ke samping dengan tambahan hiasan rambut menawan. Dan fisik, dosakah Arsen memiliki gagasan ini? Fisik gadis itu jelas lebih seksi dari pada yang terakhir dilihatnya sepuluh tahun lalu.

Suaranya? Sial! Apakah Arsen harus ke sana dan bicara dengannya hanya untuk mendengar Mia bicara?

Arsen meneguk air putih yang ada di mejanya. Tidak berselera menyentuh makanan yang mulai dihidangkan.

"Kamu mau ngomong sama dia?"

Suara itu hadir sebagai tamparan yang membagunkan Arsen dari kotak lamunan.

Arsen menoleh ke sumber suara sambil mengulang pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. Di hadapannya, Moza menunduk sambil memainkan ponselnya. Bertingkah seolah pertanyaan yang baru saja dilontarkannya adalah 'Kamu mau nyobain sashimi-nya?'

"Moz, aku-"

Lebih cepat dari Arsen berpikir, Moza lebih dulu bersuara lagi.

"Samperin aja. Nggak usah ngerasa nggak enak sama aku."

Arsen tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dalam pikirannya, bergulat antara keinginannya, kepentingan keluarganya, juga dogma tata kramanya sebagai laki-laki terhadap Moza yang notabenenya adalah pasangannya.

"Tapi kamu..."

"Aku tahu kamu nggak akan tenang kalo nggak ngobrol sama dia sekarang." Moza menghela napas seraya memasukkan ponselnya ke dalam clutch. Matanya menyapu sekeliling, kemudian beralih menatap Arsen.

"Pastiin aja untuk nggak mancing persepsi aneh-aneh dari orang yang ngelihat. Aku nggak mau tiba-tiba dipanggil dan diinterogasi orang tua kita cuma gara-gara imajinasi liar wartawan gosip..."

Pada akhirnya, setelah berusaha menahan untuk tidak mengindahkan keberadaan Mia, Arsen tidak berdaya. Ia menghampiri perempuan yang mengusik pikirannya sejak tadi. Sembari mengambil cocktail dari baki pelayan yang tengah berkeliling, ia memulai percakapan ringan.

"Apa kabar, Mia?" Arsen menyesap minumannya.

Perempuan yang dihampirinya membalas seadanya.

Arsen menoleh kanan-kiri, lalu menyesap cokctail-nya. "Kamu datang sendiri?"

Mia mengangguk. "Manajerku nggak bisa nemenin."

"Tante kamu apa kabar? Baik?"

Pertanyaan seputar kabar hanya untuk basa-basi setelah sepuluh tahun meninggalkannya tanpa kabar, membuat Mia jengah.

"Baik, Sen. Kamu mau absen kabar orang sekampung satu per satu?"

Arsen menarik senyuman canggung. Mia bahkan enggan menanyakan balik bagaimana kabarnya.

Mia menatap Arsen. "Ngobrol sama orang dengan reputasi nggak bagus kayak aku di acara kayak gini..., kamu mau galih lubang kubur kamu sendiri?"

Arsen ingin mengumpat. Demi Tuhan, kapan sih Arsen bisa melakukan hal sesuka hati tanpa peduli sorotan orang?

Arsen tidak terlalu paham maksud Mia. Namun, cara pandang Mia terhadap dirinya sendiri jelas tidak bisa Arsen terima. "Kamu nggak seburuk itu."

Mia tersenyum masam. Sepuluh tahun tanpa bertukar kabar, memangnya apa yang diketahui Arsen tentang dirinya? Laki-laki itu sama sekali tidak tahu apa yang dialaminya selama ini. Ia mengarahkan pandangannya ke arah Moza, pasangan Arsen di pesta ini yang kini tengah berbincang dengan tamu lain. Matanya kembali ke Arsen, "Banyak yang kenal kamu sama tunangan kamu."

"Kami belum tunangan. Kamu tahu Moza sahabat aku." Arsen mengoreksi.

Keduanya saling menilai melalui mata masing-masing untuk beberapa detik. Sebelum akhirnya Mia menggeleng seraya menertawakan momen mereka saat itu. Jenis tawa sinis yang Arsen tidak dapat mengartikan maksud di baliknya.

Mia melihat jam di tanganya. Pukul sembilan lewat.

"Aku pergi dulu. Salam buat Moza."

"Tapi..." kalimat Arsen menggantung di udara.

Arsen belum ingin menyudahi percakapan mereka. Ia masih ingin mendengar suara Mia lebih lama lagi, mendengar wanita itu berbicara lebih banyak lagi. Namun, Arsen sadar bahwa ia bukan siapa-siapa lagi bagi Mia, hingga harus membuat wanita itu tinggal lebih lama demi dirinya. Lagi pula Arsen sadar, ia datang kemari bersama Moza, sebagai pasangan sahabatnya itu. Tentu bukan hal baik jika ia berlama-lama berdua dengan perempuan lain.

"Hati-hati." Akhirnya kalimat itu lah yang lolos dari mulut Arsen.

Mia tersenyum. Ia tahu, ada yang mengikat Arsen sekarang. Dan itu bukan dirinya.

Wanita itu berbalik meninggalkan Arsen. Detik ini juga, keduanya mengonfirmasi kalau mereka hanyalah sepasang masa lalu yang dulunya pernah menjalin hubungan. Tidak lebih.

----------------------------------to be continued

Dah ya, Sen. Jangan main api.

Inget calon...

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang