Bagian 48: Kebencian

945 50 5
                                    

Setelah turun dari bus, Elsa menatap ke sekelilingnya. Masih biasa dan tidak ada yang berubah. Padahal pikirnya, setelah Kalila tau semuanya maka Kalila akan membongkarnya dan seluruh dunia akan tau. Tapi tidak, perkiraan Elsa meleset jauh dari dugaan.

Elsa menghembuskan nafasnya panjang, lalu melangkahkan kakinya menuju ke kelas. Melewati parkiran yang nyaris penuh, termasuk Dava juga sudah datang di sekolah, lalu melewati koridor yang sudah ramai karena ini sudah jam 6 lebih 53 menit dan bel masuk akan berbunyi 7 menit lagi. Elsa memasuki ruang kelasnya, bangkunya masih kosong membuat Elsa mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan menemukan Kalila sudah berpindah tempat duduk di bangku paling pojok seorang diri.

Hendak menghampiri namun ditahannya, belum saatnya Elsa berbicara sekarang. Yang terpenting Kalila tenang dan semuanya juga tetap tenang. Elsa tidak mau jika Kalila yang mulai dingin akan memanas kembali.

*****

Bel tanda istirahat berbunyi nyaring ke penjuru sekolah membuat semua siswa merasakan senang setelah pelajaran yang di hadapinya. Kalila masih terdiam di tempatnya, menatap Elsa dengan sorot tidak sukanya meskipun yang ditatap tidak menatapnya balik. Kalila benar-benar merasakan kekecewaan dalam hidup, yang begitu menyakitkan untuk dirinya sendiri.

Kalila pun berdiri dari duduknya, berjalan melewati Elsa begitu saja tanpa menyapa. Elsa mengejar Kalila dengan berlari kecil. Hal itu sama sekali tidak luput dari penglihatan Dava, Martin, Darwin, Nino dan Kemal, yang sedari tadi memperhatikan Kalila dan Elsa, takutnya Kalila akan melakukan sesuatu yang macam-macam. Meskipun perut sudah meronta meminta diisi. Tapi menjaga Elsa jauh lebih penting.

Elsa mengejar Kalila. Ia benar-benar tidak tahan tanpa ada sapa menyapa, semua ini harus di akhiri secepat mungkin. Elsa meraih lengan tangan Kalila yang berayun seiring dengan tubuhnya yang melangkah maju

"Apa?" Tanya Kalila dengan ketus dan nada yang begitu tidak suka. Kalila pun menepis tangan Elsa dengan kasar. Padahal tangan itulah yang dulu di rangkulnya, bergelayut nyaris setiap hari. Kini tangan Elsa terasa begitu mengusiknya

"Lil, dengerin dulu gue ngomong" ucap Elsa memohon

"Dengerin apa sih Elsa? Gue itu benci banget sama lo sekarang. Lagian gue juga udah males ngomong sama lo. Denger suara lo aja gue ini risih" ucap Kalila dengan nada sarkastik tidak suka.

Elsa menatap ke sekitarnya, dimana nyaris semua orang menatap fokus ke arah Kalila dan Elsa yang sedang ribut dan beradu mulut. Karena sepengetahuan mereka semua, Elsa dan Kalila selalu rukun, kemana-mana berdua. Kali ini berbeda dari biasanya.

"Lil kita bisa bicarain ini baik-baik" bujuk Elsa, hendak meraih lengan Kalila namun Kalila sudah menariknya lebih dulu. Tidak mau jika tangannya sampai di sentuh oleh tangan Elsa.

Kalila menarik nafasnya panjang "udah nggak ada yang baik-baik di antara kita. Semuanya udah berakhir Elsa. Jangan harap kita bisa baikan. Setelah lo sama Dava nipu gue. Menipu semua orang selama 2 tahun. Gue mendapatkan penghinaan selama 2 tahun jangan pernah lo lupain. Lo cuma sebagai penolong. tanpa gue sadar, gue juga nolongin lo Elsa. Nolongin lo dari penghinaan karena kebohongan lo" cerca Kalila sembari melangkahkan kakinya ke arah Elsa yang tadinya berada di sebelahnya. Elsa pun mundur sampai tubuhnya membentur ke tembok beton sekolah yang begitu keras.

"Dan jangan lupa sama satu hal, gue pernah merendahkan harga diri gue serendah-rendahnya di depan Dava dan lo diem aja. Jangan lupa sama ucapan Dava beberapa minggu yang lalu yang nolak gue dengan mentah-mentah dan lo nggak ada inisiatif buat ngaku. Seandainya gue selama ini tau, Dava ngelakuin hal bareng sama gue karena lo yang minta. Gue nggak akan mau Elsa. Lo itu terlalu banyak kebohongan. Nggak pantes disebut sahabat. Kalau musuh mungkin lebih tepat" tambah Kalila dengan kepala yang sudah panas, tidak bisa berfikir dengan jernih dengan apa yang keluar dari mulutnya. Namun semua yang ia katakan adalah fakta, nyata dan benar adanya.

BackstreetWhere stories live. Discover now