37. It is Decided

Start from the beginning
                                    

Perpisahan, akankah yang satu ini juga menjadi perpisahan yang ke sekian baginya? Arsen menginjak pedal gas untuk menuju rumah Moza.

****

Moza tengah menyisihkan kapas yang ia gunakan untuk membersihkan wajahnya, ketika kemilau berlian memantul dari lekuk logam yang melingkar di jemarinya. Ia terenyak sesaat, menatap benda itu lamat-lamat. Alisnya mengernyit. Mengapa cincin pertunganan itu masih tersemat di jari manisnya?

Jarinya yang lain hendak melepaskan benda itu dari tangannya, ketika terdengar nada panggilan masuk dari ponselnya. Ia menatap nama yang tertera di sana, kemudian menerimanya.

"Aku di depan, Moz." Arsen bicara begitu nada sambungnya berhenti.

"Ngapain?" Moza berseru, bangkit dari kursi depan meja riasnya. "Aku bilang kita ngomong lewat telepon aja, atau video call."

"Nggak bisa lah aku ngomongin ini tanpa ketemu kamu langsung," bantah Arsen.

Moza memutar bola matanya. "Rapat presiden aja bisa via teleconference. Kamu yang mau ngomongin masalah kita aja sok penting banget!"

"Ngomong langsung aja bisa kamu tinggal pergi, apalagi nggak langsung. Bisa-bisa kamu matiin sebelum aku selesai," sahut Arsen tak mau kalah.

Moza berdecak.

"Moz... kalo kamu nggak mau turun, aku yang manjat ke kamar kamu nih!" Arsen mengancam untuk melakukan aksi panjat-memanjat menggunakan tangga, seperti yang sering dilakukannya saat remaja dulu.

"Tangganya udah disingkirin. Takut ada maling! Lagian kayak masih lincah aja, mau panjat-panjat!" Moza tidak tahan untuk mengatai sahabatnya yang sering berpikir di luar nalar itu. Ia mendengus keras. "Iya aku turun! Kamu nggak usah masuk. Kita ngobrol di mobil kamu aja."

Beberapa menit kemudian, Moza sudah berada di dalam mobil Arsen. Ia sengaja tidak mengajak Arsen bicara dalam rumah, karena orang rumah bakal mencuri dengar. Lagi pula, ia tidak ingin ayahnya yang masih emosi tiba-tiba mengacungkan katana ke leher Arsen.

Ketika berada di dalam mobil, kening Arsen berkerut ketika mendapati Moza dengan cekatan memasang sabuk pengaman.

Menyadari tatapan Arsen, Moza segera menjelaskan maksudnya."Kita jalan keluar komplek. Sekalian cari makanan. Aku belum makan."

Dan mereka pun meluncur menyusuri jalanan lengang.

****

"Kamu 'kan tau aku nggak makan fast food!" seru Moza, ketika melihat bungkusan yang dibawa Arsen dari restoran 24 jam. Padahal, cowok itu tadinya memarkir mobilnya di depan restoran hanya karena ingin ke kamar kecil.

"Kamu pake piama gitu, how far can we go? Ini juga udah malem. Restoran udah pada tutup. Kamu mau, aku beliin lalapan lele kaki lima? Ada sayurnya tuh," ucap Arsen sembari menunjuk warung kaki lima pinggir jalan, yang masih terang benderang.

Moza memelotot. "Mending aku minum air putih doang!" katanya.

Arsen tergelak. "Atau nasi goreng?" goda Arsen lagi.

"Sen, ih!" Moza meninju lengan Arsen. Sementara cowok itu masih tertawa.

"Ya udah, kita balik ke rumah kamu aja ya? Makan sesuai kriteria kamu."

Moza mendengus. "Nggak usah," sergahnya dengan wajah cemberut. Detik berikutnya, tangannya meraih paket burger yang tadi diletakkan Arsen di dasboard.

Tepat saat itu, cahaya yang menyorot dari lampu kendaraan yang lewat menerangi ruang dalam mobil Arsen. Membuat sesuatu di jemari Moza berkerlip. Arsen menangkap momen itu. Seketika ia meraih tangan Moza.

Keduanya terdiam menatap benda itu bersamaan. Sebelum akhirnya Moza menarik tangannya.

"Jangan dipegangin! Aku nggak bisa makan," ujarnya, lalu membuka bungkus burger dan melahapnya dalam gigitan cukup besar. Matanya menatap lurus ke depan, tanpa memedulikan Arsen yang mengamatinya dalam diam.

Mereka sama sekali tidak bicara, sampai akhirnya Moza menghabiskan potongan roti terakhir dan menutup makan malamnya dengan meneguk air mineral yang tersedia di mobil Arsen.

Saat itu, ia tahu Arsen masih memperhatikannya.

"Berlian itu simbol abadi 'kan, Moz?" Arsen tiba-tiba bersuara.

Sudut bibir kiri Moza tertarik ke atas. "Jangan konyol. Nggak ada yang abadi."

Arsen meremas kemudi, matanya menatap jalanan sepi. "Malam itu di acara pertunangan kita, aku berniat buat mengabadikan apa yang kita punya. Supaya nggak ada orang lain yang mengisi."

"Tapi nyatanya udah ada orang lain, kan?"

Suara Moza terdengar sumbang. Keduanya sempat terdiam, sebelum Arsen bicara lagi. "Aku nggak bisa nepatin janji itu ke kamu."

"Kamu nggak pernah janji, Sen." Moza menatap Arsen, yang saat itu terlihat kuyu. "Waktu ide untuk kita nikah muncul di mobil waktu itu, kamu memang nggak janji untuk ngebuat aku bahagia. Aku yang maksa kamu."

"Aku nggak terpaksa sama sekali," sanggah Arsen cepat.

"Waktu itu." Moza terus mengoreksi, tak kalah cepat. "Enggak sekarang. Enggak setelah kamu ketemu Mia lagi."

Telak. Arsen mengusap wajahnya. "Terus setelah ini kamu gimana?" tanya Arsen, menjaga agar suaranya tidak terdengar parau.

"Aku gimana?" Moza tertawa ringan. Binar mata indahnya menatap Arsen tak percaya. "Aku nggak pernah ngemis buat dinikahi sama kamu loh, Sen."

"I know. I mean, pertunangan ini ada karena aku mau melindungi kamu."

Dan sekarang melindungiku sesuatu yang nggak terlalu penting 'kan buat kamu? Moza bergumam dalam hati. Ia tersenyum simpul.

"Kamu tenang aja." Moza menyibak rambutnya. "Orang tuaku mungkin udah kapok ngejodohin aku. Gimana pun, ide pernikahan aku sama kamu ada karena dari dulu Bunda sama kerabat kita memang sering berandai-andai kalo kita jadi pasangan. Jadi mereka ikut andil dalam hal ini. Mereka yang mendorong kita. Dan karena jadinya begini, mereka udah segan ngejodoh-jodohin aku sama orang."

"Terus makan malam sama Romeo itu apa?"

Moza terkejut mendengar pertanyaan tembakan Arsen. "Wow... are you spying on me?"

Arsen mengalihkan pandangan. Sebuah motor melaju kencang di jalanan, menyuarakan bunyi knalpot yang memekikkan telinga.

Moza menghela napas. "Itu makan malam formal. Aku cuma diajak Ayah. Romeo mau beli saham TJ.ent, jadi kami sedikit ramah tamah. Itu aja. Kamu juga 'kan yang nyetusin ide supaya kasih tawaran ke Romeo."

Arsen menelan ludah kasar. Akhirnya, ia sampai pada suatu babak yang membuat mereka berdua duduk bersama malam ini.

"Saham ayah kamu, sementara udah aman." Arsen merangkai satu per satu rantai rumit di antara dirinya dan Moza "Pencalonan Papa tinggal kami yang urus. Nggak ada masalah lain." Arsen menjeda kalimatnya. "Jadi... kita beneran udahan?"

"This is what you want, isn't it?" Moza bersuara lirih.

Arsen tidak menjawab. Kemilau cincin bergerak perlahan ketika Moza melepaskannya. Begitu terpisah dari jarinya, Moza meraih tangan Arsen untuk memberikan benda itu. Saat itu lah Arsen menariknya dalam pelukan.

"Ini bukan karena kamu nggak penting di hidupku, Moz." Arsen berbisik di dekat telinga Moza. Aroma parfum yang ia hafal, terhirup seketika. Arsen bisa mengenali varian mana yang dipakai gadis itu. "Kamu berharga banget buat aku."

Moza tersenyum samar. Dalam pelukan itu, untuk pertama kalinya Moza tahu bagaimana sesaknya menahan air mata. Maka ketika pertahanannya hampir mencapai batas, tangannya bergerak mengeratkan pelukan. Bersembunyi di antara bahu dan leher Arsen, Moza meredam apapun yang mulai bergejolak dalam dadanya.

------------------------------------to be continued

Ada yang mulai ........ (isi sendiri ya)

Apakah ini sebuah titik terang? Atauuu.. *dipersilakan beropini deh*

HEROINWhere stories live. Discover now