36. Guardian Angel (2)

Mulai dari awal
                                    

"Kamu nggak salah, ngebandingin diri kamu sama anak kecil? Selisih umur kalian bahkan jauh. Kamu harusnya malu punya pemikiran ini setelah dewasa! Apalagi kamu itu panutan buat adik-adik kamu!"

"Arsen nggak pernah melabeli diri Arsen sebagai panutan. Arsen juga nggak minta dilahirin jadi anak pertama. Bahkan Arsen nggak pernah minta dilahirin jadi anak Papa!" Arsen tidak bisa menahan lagi. Ia bangkit dari duduknya, napasnya tersengal. Diucapkannya kalimat yang bahkan ia sendiri terkejut bisa melafalkan kalimat sekeji itu kepada orang tuanya.

****

Bertahun-tahun lalu, setiap kali terjadi perdebatan... Arsen hanya akan menjadi pihak yang kalah. Arsen hanya akan menjadi pihak yang merelakan segala prioritasnya direnggut.

"Dari mana?" Papa menodong Arsen dengan pertanyaan, begitu melihat putranya melintas di dekatnya. Kala itu Arsen baru saja pulang, dengan seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya.

Arsen menoleh papanya sekilas. Sudut bibirnya tertarik ke atas, sebelum akhirnya menjawab dengan nada ramah. "Ngerjain tugas."

"Nggak bisa dikerjain di rumah?"

Kening Arsen berkerut. Ia merasakan kejanggalan dari pertanyaan papanya. Biasanya, beliau selalu oke-oke saja mau Arsen pergi ke mana pun. Karena papanya percaya, ia tidak akan melakukan hal aneh-aneh. "Tugasnya berkelompok. Arsen ngerjain bareng temen."

"Tugasnya yang berkelompok, atau berdua sama pacar kamu?"

Arsen tertegun. Dari mana Papa tahu?

"Papa udah lihat isi kamar kamu. Play Station sama koleksi mainan kamu udah nggak ada," lanjut papanya. Melucuti satu per satu hal yang disembunyikan Arsen beberapa waktu belakangan.

Arsen menelan ludah. Meski sudah mempersiapkan rangkaian jawaban jika ia berhadapan dengan situasi ini, tetap saja. Ia tidak terbiasa berbohong. Ia berdehem sedikit, lalu mengatur suara agar terdengar senormal mungkin. "Rusak. Jadi Arsen jual aja."

"Terus ke mana sekarang uangnya? Kenapa nggak dibeliin yang baru?" Kali ini pertanyaan Papa semakin mengerucut.

"Err.. itu..."

Belum sampai Arsen menyelesaikan kalimatnya, papa bicara lagi. "PS, barang-barang koleksi... Setelah ini apalagi? Mobil juga mau kamu gadaikan?" nada bicara Papa mulai meninggi.

"Enggak lah Pa..." secara tidak langsung, sanggahan Arsen terhadap pertanyaan terakhir Papa, mengonfirmasi kebenaran asumsi Papa sebelumnya.

"Papa dapat laporan dari guru les kamu, kalo kamu udah nggak pernah ikut kelas! Nilai kamu juga turun. Kamu ngapain sih, selama ini?"

Arsen hanya menunduk, tidak menjawab.

"Kamu jual barang-barang kamu, terus kadang kerja part time. Kamu lagi diburu bandar narkoba atau apa?"

Arsen mengusap wajahnya. "Arsen cuma bantu temen."

"Pacar kamu itu, cewek yang kamu titipin untuk kerja di resto Pak Beni 'kan? Jadi bener dia yang meras kamu?"

"Dia nggak meras Arsen... Arsen cuma mau bantu dia dikit. Dia nggak tau soal ini. Apalagi minta."

"Pak Rahmat lihat kamu di lokalisasi prostitusi. Kamu main ke sana, Sen? Cewek itu ngeganti duit kamu pake jasa itu?"

"Apa sih, Pa! Kok jadi yang enggak-enggak? Udah Arsen bilang, Arsen jual barang-barang itu supaya dapat uang buat bantu dia. Arsen kerja part time buat ganti yang lebih murah. Jadi Enand masih bisa main," terang Arsen dengan susah payah.

Arsen sama sekali tidak bohong. Mia tidak pernah meminta apa pun dari Arsen. Jangankan meminta, gadis itu bahkan tidak tahu. Yang Mia tahu, tiba-tiba pemilik kontrakannya berubah baik dan mematok harga diskon lima puluh persen. Padahal, Arsen lah yang sudah membayar setengahnya. Yang Mia tahu, tiba-tiba sebagian besar hutang yang ditinggalkan ibunya sudah dilunasi seseorang. Lagi-lagi Arsen lah orang melunasi hutang itu.

"Minggu depan kamu berangkat ke LA. Ikut Om Reinald, lanjut sekolah di sana." Kalimat papa hadir sebagai petir yang mengoyak Arsen.

"Pa! Nggak bisa gitu, Pa! Arsen mau sekolah di sini. Kasih Arsen kesempatan."

"Papa kasih kamu kesempatan buat hidup lebih baik di sana."

"Pa..." Arsen bahkan sudah merapat untuk berlutut dan memohon.

Rahang papa mengeras. Ia menatap putra sulungnya. Diberikannya dua pilihan. "Kamu yang pindah sekolah, atau dia yang keluar dari sekolah. Papa juga bisa bikin dia kehilangan pekerjaan."

****

Mia kembali mengunyah tomat cerrynya, ketika Arsen yang baru saja mandi sepulang kerja tadi, tiba-tiba bersiap keluar lagi.

"Kamu mau ke mana?" Mia beranjak dari tempat tidur.

"Keluar bentar," jawab Arsen yang baru saja mengenakan Ralph Lauren-nya.

"Papa kamu?" Mia menebak.

Arsen menggeleng, lalu mengoreksi. "Moza. Kami sempat ribut kemarin." Arsen menghela napas. "Iya, urusan Papa."

Mia memperhatikan kegiatan Arsen. Mulai menyemprot parfum dan mengambil dompet, juga kontak mobil. "Sayang..." panggil Mia.

"Hm?"

"Pertunangan kamu, apa masih lanjut?" tanya Mia hati-hati, membuat Arsen seketika mengalihkan perhatian ke arahnya.

Tangan Arsen terulur membelai rambut Mia yang terurai indah. Arsen hendak menjawab bahwa sekarang lah ia akan mengakhiri semuanya. Namun, ia tidak berani berjanji. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ia bertemu Moza setelah ini.

"Dikit lagi. Kamu sabar ya." Akhirnya, kata itulah yang bisa terucap dari mulutnya.

Mia merapatkan tubuhnya ke Arsen, memeluk laki-laki itu. Namun, bibirnya tidak berkata apapun.

"Mia? Kamu ada yang mau diomongin?" tanya Arsen lirih.

"Enggak," balas Mia. Padahal, banyak kata yang ingin ia sampaikan. Namun, saking banyaknya, Mia tidak tahu harus mulai dari mana. Maka, ia pun mengurai pelukan.

Arsen tersenyum. "Aku pergi dulu ya, Sayang."

Arsen mengecup bibir Mia sekilas. Namun, Mia menahannya. Ia justru memberikan ciuman dalam. Bibirnya memagut intens seiring dengan perasaan yang ingin ia sampaikan. Menjadikan ciuman itu ciuman panas. Hingga keduanya kehabisan napas dan melepas tautan bibir mereka, dengan sisa napas yang terengah.

"Aku tunggu kamu pulang." Mia berbisik di telinga Arsen. Entah kenapa berat sekali melepas Arsen malam ini.

------------------------------------to be continued

Arsen remaja nggak punya kekuatan untuk menentang.

Sekarang, setelah dewasa, apakah Arsen bisa?

Jadi, apakah sudah terjawab kenapa Arsen putus sama Mia waktu itu? Kelanjutannya ada di part berikutnya ya

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang