33. Deal with Problems

Mulai dari awal
                                    

"Terkait koalisi Papa yang mau membelot ke yang lain, tim aku di firma Papa punya banyak data borok mereka. Jadi mereka bakal berpikir ulang buat berubah haluan, karena tau siapa yang mereka hadapi," jelas Arsen. Laki-laki itu memang tidak terlibat secara struktural dan resmi dalam organisasi papanya. Namun, di belakang layar justru dirinya lah yang banyak berperan. Pekerjaannya di salah satu perusahaan farmasi milik swasta hanyalah selingan untuk mengelabui lawan papanya, bahwa Arsen hanyalah orang biasa yang tidak perlu perlu diperhitungkan dalam pertarungan politik.

"Tapi kamu cuti dari kantor dan nggak ngasih tau aku kemana. Orang tua kamu juga nggak kamu kasih tau."

"Karena emang nggak penting 'kan aku di mana, Moz? Yang penting aku beresin urusannya. Dari dulu juga gitu 'kan? Papa cuma peduli kalo ada kelakuan aku yang berpengaruh ke namanya."

Arsen menghela napas, menatap wajah kuyunya di cermin.

"Aku ke sini cuma nenangin Mia." Suaranya melunak. "Pikiran aku masih jalan buat meredam ini semua... Seenggaknya sementara. Sampai kita selesai nanti."

****

Pagi harinya, Arsen dan Mia berkemas untuk segera kembali ke Jakarta. Arsen menghampiri Mia, ketika melihat kekasihnya itu kesulitan menutup resleting dress yang dikenakannya.

"Kata Keenan, bawa kamu ke sini adalah langkah yang tepat buat healing kamu," katanya setelah membantu Mia menutup resleting. Detik berikutnya, ia membalikkan tubuh Mia supaya menghadapnya. "Pulang dari sini, kamu ketemu sama dia ya? Aku udah atur appointment."

Mia mengangguk. Semenjak tahu bahwa ia mengonsumsi obat penenang waktu itu, Arsen memang mengarahkannya untuk berkonsultasi dengan Keenan, temannya yang seorang psikolog.

"Setelah ini, kamu jangan buka sosmed atau posting apa-apa dulu. Jangan keluar juga, di apartemen aja." Arsen mengusap wajah Mia. "Biar kamu nggak bosen, aku bakal pesenin layanan buat kamu. Pijat, salon, whatever... nanti aku atur supaya mereka nggak bocorin informasi atau ambil gambar kamu. Kalo sampe keadaan kamu di situasi kayak gini tersebar, mereka bakal habis di tangan aku. Sama seperti fans yang udah nyebarin foto kita kemarin."

Benar. Arsen telah mengirimkan ancaman pada sosok lancang yang menyebarkan fotonya dan Mia kemarin.

"Selama di sini aku juga udah upayain sesuatu buat ngalihin isu. Jadi... tunggu dikit lagi ya, Sayang... setelah itu kamu bisa mulai aktivitas lagi." Kemudian, Arsen bergerak untuk mengecup kening kekasihnya itu. Cukup lama.

****

Ruang meeting berukuran medium itu kini terkesan tegang. Kening Arsen mengernyit ketika mendapat laporan soal komplain pelanggan. "Kenapa bisa kecolongan sih, Ndre? Kamu 'kan selalu ngecek dokumen produksi sampai barang keluar?"

"Udah ditelusuri. Isunya ada di proses pengiriman. Suhunya nggak stabil. Jadi pas sampai rumah sakit, tuh produk udah rusak," jelas Andre yang menjabat sebagai kepala produksi.

"Bener batch itu doang? Atau ada lainnya? Terus produk yang di gudang distributor gimana? Kok belum ditarik?" tanya Arsen lagi.

"Udah ada memonya. Penarikan juga butuh approval lo, kali. Lo belum periksa email?" sahut Shinta, kepala dari tim quality assurance.

"Data yang kalian kirim nggak detail. Mana bisa gue main acc!" sembur Arsen, ia kembali melirik ke arah Andre. "Terus udah dikirim lagi? Katanya kemarin ada kendala produksi?"

"Itu masalahnya. Jadwal produksi kita mundur."

Mata Arsen melebar. "Masalah bahan baku lagi?"

Andre mengangguk.

Arsen membanting modul di hadapannya, jengah dengan sikap Andre yang terkesan tenang. Padahal masalah ini berpusat pada divisinya.

Ia lalu menoleh ke arah Anggi, PR yang memegang produk tersebut. "Berapa deal yang kamu dapat dari seminar kemarin, Nggi?"

"Dua belas," jawab Anggia pendek dan tegas, mencoba mengontrol emosi. Meski dalam hati, ia ingin berteriak, khawatir jika masalah ini berdampak pada dealing-nya minggu lalu. Apa kata buyer jika sampai mereka tidak bisa memenuhi permintaan?

"Kalian tau kenapa ini krusial? Produk kita kategori fast moving! Kalau suplai tersendat, klien bakal beralih ke kompetitor. Dan nggak ada jaminan mereka kembali lagi ke kita." Nada Arsen meninggi, matanya menyapu seluruh peserta meeting dengan kekesalan memuncak.

Andre yang merasa disudutkan, angkat bicara. "Mungkin lo belum tau ceritanya, Sen. Tapi tim gue udah info soal ini. Soal ganti stok itu, kita ada buffer. Dan soal deal baru yang diteruskan jadi forecast yang dikirim tim lo kemarin, kita ada solusi buat diganti dari premium ke reguler. Elo yang belum kasih keputusan. Semua proses nyangkut di lo."

Arsen tahu Andre sedang menyinggung cutinya kemarin. Namun, ia lebih kesal dengan solusi Andre yang terkesan menggampangkan. "Nonsense! Mana bisa janjiin premium kita kasih reguler? Gue mau ada stok paling nggak buat support rekanan rumah sakit bulan ini. Produksi parsial kek, terserah! Persetan biaya produksi bengkak."

Keputusan bulat. Arsen mengeluarkan ultimatum yang paling masuk akal, meski menuai kecaman dari beberapa pihak karena mengabaikan himbauan menekan biaya produksi. Belum lagi cibiran yang menyalahkannya karena beberapa hari absen dan terkesan mengabaikan pekerjaan.

Meeting bulanan itu pun berakhir. Arsen keluar dari ruangan dengan tampang kusut setelah digempur sana-sini. Dan seolah belum selesai perang, ia langsung menghampiri meja bawahannya untuk memberikan perintah.

"Nad, kamu atur pertemuan saya sama Dokter Theo ya. Usahakan minggu ini."

"Baik, Pak."

"Tolong tarik data penjualan kuartal ini juga. Saya tunggu," katanya dengan penuh penekanan kemudian masuk ke ruangan.

Nada menghela napas. Jengkel dengan bosnya yang selalu memberi tugas beruntun setiap habis menghilang.

-----------------------------------to be continued

Iya Pak Arsen, jangan marahin saya yhaaa.... takuuut~

Moza juga jangan digalakin dong. Dia kan tunangan kamu. Mungkin dia butuh dukungan emosi, bukan hanya dukungan ide dan solusi jalan keluar. Butuh kamu nepuk-nepuk bahu...

Bukan malah nepuk bahu perempuan lain.. eaaa

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang