30. Best Friend's rule

Mulai dari awal
                                    

"Tar kalo lo punya cewek bawel, mampus lo diomelin kalo nggak paham soal ginian."

"Bakal sebawel apa sih cewek gue? Nggak sebawel lo kayaknya. Eh, ketemu nih. Tinggal satu!" seru Arsen, kemudian segera memberikan pembalut itu kepada sahabatnya.

Moza. Gadis itu ada bahkan hampir di setiap episode hidupnya. Waktu melesat cepat hingga kini ia berusia 27 tahun, hampir 28. Arsen mulai mengetikkan pesan untuk menghubungi sahabatnya itu.

Arsen : Moz, lunch break ketemu sebentar bisa nggak?

Moza : Nggak mau kalo kamu masih uring2an

Arsen : Udah enggak.. aku tunggu di coffee shop sebelah gedung kamu ya?

Moza : Aku mau makan daging. Rib House.

Arsen : Oke.. ketemu di sana atau aku jemput?

Moza : berangkat masing2

Arsen : oke, see u

_____________________________________

Pukul 12.17. Moza memasuki restoran barberque di daerah Senayan. Di salah satu bangku dekat jendela, Arsen sudah menunggunya dengan dua gelas ocha di hadapannya.

Tangan Arsen melambai ketika dilihatnya sosok Moza mendekat dan pandangan mereka bertumbukan. Wajah Arsen sumringah. Begitu perempuan itu duduk di hadapannya, Arsen dapat mencium wangi parfum chanel favorit Moza.

Seorang pramusaji menghampiri meja mereka. Moza melihat menu sekilas, kemudian menyebutkan pesanannya.

Moza melirik Arsen, menyiratkan pertanyaan apakah ada yang ingin ditambahkan oleh cowok itu setelah Moza memilih menu untuk mereka berdua, tanpa repot-repot bertanya pada partner semejanya siang ini.

Arsen menggeleng. Moza hafal kebiasannya jika makan di sini. Selain itu, agendanya kali ini untuk bicara dan menemani Moza makan siang.

Pramusaji mengulang pesanan, yang disambut anggukan Moza, kemudian berlalu.

"Kamu kok pucat gitu? Sakit?" tanya Arsen setelah pramusaji pergi.

Moza menggeleng. "Nyobain warna paling nude dari lipstik yang kamu kasih. Warnanya aneh-aneh," jelasnya, mencebik. Sengaja berkomentar buruk soal kado yang Arsen berikan. Padahal, pilihan Arsen sudah cukup oke.

"Hoo..." Arsen bergumam, menyadari bahwa warna itu memang hasil polesan lipstik. Diam-diam makin merasa bersalah karena inovasinya untuk kado ulang tahun Moza. Mungkin memang ia harus kembali ke pilihan sepatu atau parfum.

"Katanya mau ngomong. Buruan, sebelum kita makan daging dan tensi kita naik." Moza meminum ocha yang tadi dipesankan Arsen untuknya.

"Kamu ngasih prolog dingin gitu, aku jadi takut." Arsen pura-pura.

"Nggak usah bercanda."

Seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan. Irisan-irisan daging tertata rapi di piring. Moza menggeser salah satu piringnya, belum mulai memasak.

Arsen menghela napas, matanya menatap lurus ke perempuan di hadapannya. "Maafin aku. Aku kasar sama kamu tadi."

Panggangan dihidupkan. Moza mulai memasak. Sambil mempertemukan daging dengan panggangan panas, ia bicara. "Aku paham."

"Paham bukan berarti kamu nggak ngambek, kan?" Arsen menanggapi sembari menggulung lengan kemejanya, ikut membolak-balik daging.

"Harus. Itu udah aturan kita dari dulu. Supaya salah satu dari kita tau kalo kasar sama sahabatnya itu salah," tukas Moza. Matanya terfokus pada daging yang mulai kecokelatan, enggan menatap Arsen.

"Aku juga minta maaf karena ceroboh. Kekacauan ini... Aku salah."

"Kalo untuk yang itu aku nggak butuh maaf. Aku butuh kamu cari cara supaya isu itu nggak melebar kemana-mana," balas Moza ketus.

"Aku udah bilang ke Papa kalo kita bakal selesai setelah urusan dua sisi beres." Arsen mengambil satu daging dan meletakkannya di piring. "Buat kamu," katanya sambil menaruh piring di hadapan Moza.

Moza meletakkan daging lagi ke atas panggangan, mengabaikan daging matang di depannya. Ia belum ingin makan. "Aku tau. Papa kamu langsung nelpon tadi."

Arsen tidak terkejut jika papanya langsung menelpon Moza. Papa dan Moza sudah sangat dekat. Moza sudah seperti anak perempuannya sendiri. Namun, untuk perkara ini, Arsen tidak bisa tenang-tenang saja seperti biasanya ketika mendengar hal itu.

Seketika ia meraih tangan Moza. "Papa nggak bilang macem-macem yang nyakitin kamu, kan? Atau marahin kamu?"

"Nggak lah. Papa kamu mana mungkin gitu sama aku. Kalo senewen sama Mia, baru mungkin."

Arsen terdiam sesaat. Tangannya masih tinggal di sana. Bertaut dengan jemari Moza. "Kita bahas itu nanti. Yang penting kamu dulu gimana."

Moza mengangkat kepalanya yang semula menunduk, untuk menatap Arsen. "I'm okay, Sen. Selama kalian berdua nggak nyeret aku ke jurang. Kalian kalo pacaran yang rapi dikit. Jangan asal terjang kayak jalan tol." Moza membalas genggaman tangan Arsen. "Karena kalo isu kamu sama Mia terkuak, bukan lantas kamu sama Mia bakal diboyong ke KUA. Yang ada kamu sama aku bisa-bisa beneran dinikahin buat menyangkal isu itu!"

Mendengar pemikiran itu, Arsen belum bisa bereaksi. Lidahnya kelu. Kemudian di tengah-tengah keterdiamannya, sesuap daging merapat mendekati mulutnya.

"Aaaaa..." Moza memberi isyarat supaya Arsen membuka mulut. Tangannya terulur menyodorkan daging yang sudah tidak terlalu panas ke mulut Arsen. Bibirnya membentuk senyuman ketika Arsen menyambut suapan itu seperti balita manis yang tidak rewel.

"Kita makan dulu. Aku lapar." Moza berucap kemudian mengambil daging lagi dan memasukkannya ke mulutnya sendiri.

Dan seperti agenda ngambek sebelum-sebelumnya, kedua sahabat itu baikan dengan begitu mudah.

-----------------------------------to be continued

Wah, Arsen beneran sudah memilih.

Terus kalo nanti udah lepas seutuhnya sama Mia, Moza bakal tetap ada di episode-episode hidup Arsen nggak ya?

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang