29. Melawan Dunia

Start from the beginning
                                    

Arsen mendesah pelan. Merasa brengsek dan kasar. Namun, ia memang sedang tidak bisa berkomunikasi dengan Moza saat ini. Emosinya masih belum terkontrol.

Beberapa saat kemudian, rumah Arsen sudah terlihat. Begitu sampai, Arsen memberhentikan mobilnya dan memarkirnya di luar gerbang.

Ketika memasuki pelataran rumah, dilihatnya SUV hitam milik papanya masih terparkir. Ia pun melangkahkan kaki dengan mantap memasuki rumah.

"Kak Arsen?" sapa Irene yang tampaknya bersiap untuk berangkat sekolah.

"Papa ada, Ren?"

"Ada. Baru selesai sarapan."

"Oke," balas Arsen dengan langkah tergesa, tanpa memedulilan raut adiknya yang penuh pertanyaan.

Suasana rumah tampak lengang. Untuk ditinggali keluarga yang beranggotakan lima orang saja, rumah itu sudah sangat besar. Apalagi sekarang setelah Enand dan dirinya tinggal di tempat lain, rumah itu tampak semakin kosong dengan hanya ditinggali oleh tiga orang yaitu Irene, Kazi, dan papanya yang jarang di rumah.

Arsen melenggang ke ruang keluarga. Ya, begitulah istilahnya dalam tata desain interior. Meski sebenarnya ruangan itu hanya sebagai pajangan. Tidak ada penghuni rumah ini yang memanfaatkan ruangan itu sebagaimana fungsinya. Dari sana, Arsen bisa melihat papanya keluar dari kamar dengan setelan rapi, diikuti oleh Kazi di belakangnya.

Pandangan Arsen dan papanya saling bertumbuk. Papa tampak sedikit terkejut. Ia berbisik sekilas pada Kazi, yang kemudian tersenyum seraya menepuk pundak suaminya, lantas menyingkir ke ruangan lain.

Seperti sudah tahu maksud masing-masing, Arsen dan Papa berhadapan dengan penilaian satu sama lain.

"Papa harap kamu datang dengan sesuatu yang baik, Sen. Bukan lelucon."

Arsen tersenyum masam. Selalu tentang harapan papanya, ya?

"Sesuatu yang baik itu yang seperti apa?"

Papa tertawa sinis mendengar pertanyaan Arsen. Pagi ini ia harus menghadapi sidang cukup pelik. Dan sebelum putaran sidangnya dimulai, anak sulungnya muncul seolah ingin menjadi musuh pertama yang hendak dibabatnya habis.

"Sesuatu yang nggak akan menimbulkan masalah di pihak kita. Lelucon konyol di media sosial itu..." Papa memberi jeda. "Bilang sama Papa kalau itu bukan kamu."

Arsen meremat tangannya, lalu sebuah kalimat terucap. "Itu memang Arsen."

Papa tidak bersuara. Dalam ilmu yang dianutnya, di setiap duduk perkara penyidikan, ada yang namanya bukti dan petunjuk. Pada kasus Arsen, foto yang tersebar luas di media tidak terlalu jelas menampilkan wajah putranya. Sehingga keberadaannya tidak dapat mengonfirmasi apakah itu Arsen atau hanya seseorang yang mirip Arsen. Karena tidak bisa membuktikan apapun, maka hal itu hanya memiliki status sebagai petunjuk.

Karena itulah. Secara objektif, Papa menghindari untuk berasusmsi sebelum mendengar konfirmasi dari Arsen sendiri. Lalu detik ini, Arsen datang dan mengambil peran sebagai terdakwa yang dengan mengakui kebenaran sebuah petunjuk yang mengarah terhadapnya.

"What a joke, Arsen." Papa tertawa sinis.

"Apapun yang terjadi di antara aku sama Mia, that's not a joke. I love her."

"Sejak kapan kita berunding soal percintaan? Papa selalu ajari kamu untuk rasional, lihat bukti, fakta. Dan fakta yang ada sekarang adalah kamu tunangan Moza. For God's sake, Arsen! Apa yang ada di otak kamu sekarang?"

"Aku sama Moza sepakat, kami akan selesai setelah Papa terpilih dan TJ.Group ikut dalam proyek konsorsium tahun depan."

Papa mengernyit. "Apa yang bikin kamu berpikir kamu berhak ambil keputusan soal kepentingan Papa?"

"Siapa bilang ini tentang Papa? Ini tentang aku, Mia, dan Moza yang kebetulan ada Papa di dalamnya."

Papa tersentak. Tanpa bisa ditahan, tangannya melayang ke pipi Arsen. Untuk pertama kalinya putranya yang paling taat dan manis itu memancing emosinya. Untuk pertama kalinya, putra kebanggaamnya melukainya dengan mengambil kendali kapal yang tengah dijalankannya secara kasar. Tanpa aba-aba dan perhitungan gegabah.

"Apa dari jalang itu kamu belajar kurang ajar kayak gini, Sen? Kamu nggak mikir? Ini bisa jadi awal keretakan dari pondasi yang susah-susah Papa bangun!" Suara menggelegar memenuhi ruangan.

Arsen tersenyum masam. Alisnya terangkat. "Pada akhirnya, Papa cuma mikirin kerugian di sisi Papa, kan?"

Senyum itu selanjutnya berubah menjadi gurat kaku yang mengeras di rahangnya. Ia menatap papanya penuh keberanian, juga kedalaman tekad yang seolah tak berdasar.

"Jangan minta Arsen buat ngelepasin Mia. Karena itu nggak akan terjadi."

---------------------------------to be continued

Waw, apakah ini awal Arsen jadi anak durhaka? 😅

Malin Kundang be like : mari bergabung bersamaku

***

See you on next part,
ramein dong guys komennya~

HEROINWhere stories live. Discover now