25. Consequences

Mulai dari awal
                                    

Mia terdiam. Gadis itu hanya meremas kotak kemasan makan siang itu.

Arsen menghela napas. "Menunya nggak cocok? Kalo lo nggak makan, gue nggak jalan lho. Tar di tengah-tengah jalan lo pingsan karena kelaperan, gue juga yang repot."

Mia masih diam.

"Atau mau gue suapin?"

Kalimat itu berhasil membuat Mia bergerak membuka box makan siang itu, membuka bungkus sumpit, lalu menyuap sepotong ebi roll. Arsen tersenyum. Cowok itu pun menjalankan mobilnya.

Hari itu tentunya tidak sampai di situ. Arsen tidak membiarkan Mia berjalan sendirian di lorong gang-gang kecil setelah turun dari mobilnya yang diparkir di depan gapura kelurahan. Tanpa diharapkan atau diminta, Arsen sukarela... atau lebih tepatnya memaksa, untuk mengantarkan gadis itu sampai ke rumah.

Diam-diam, dalam hening perjalanannya dalam taksi, Mia teringat bagaimana Arsen menghadapi preman yang berniat menggodanya hari itu.

"Tau jaksa yang nanganin kasus penganaiayaan jurnalis kemarin? Yang nyaris nggak ada jejaknya tapi dia bisa nemuin pelakunya? Itu bokap gue. Penganiayaan, pemerasan, perbuatan tidak menyenangkan. Itu pasal berlapis lho. Belum lagi yang jadi targetnya anak di bawah umur. Kalo ini gue aduin ke bokap, kalian bisa dituntut dua sampai lima tahun penjara. Belum lagi dipukulin sipir atau napi lain," ucap Arsen yang baru saja dipukul dua preman kampung.

Sebenarnya, Arsen juga ngawur. Ayahnya 'kan pengacara, bukan jaksa. Lagi pula yang hafal pasal juga ayahnya, bukan dia. Namun, lawan preman begini, asal ada duit dan gaya meyakinkan, pasti mereka segan.

Arsen mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, melemparnya ke depan dua pria yang tengah memasang tampang takut usai memukuli anak jaksa. "Kalo nggak mau diseret ke penjara, turuti omongan gue." Arsen menoleh ke arah Mia sekilas, lalu menatap kedua pria yang matanya berbinar melihat lembaran bernilai itu.

Arsen tertawa sambil menahan nyeri di bibirnya. "Mulai sekarang jagain cewek ini. Gue bakal kasih lebih kalo dia bilang kerja kalian bagus."

Tidak ada yang tahu apa yang berubah dari hidup Mia sejak hari itu. Tidak ada yang tahu harga yang bersedia dipertaruhkan Mia demi bersama sosok itu lagi. Tidak ada yang tahu.

****

Arsen menghampiri Moza yang tengah berjalan di terminal kedatangan domestik bandara Soetta. Sejenak, ia memperhatikan raut Moza. Perempuan itu terlihat lelah.

"Kamu harus banget PP Jakarta-Surabaya sehari ya, Moz?" tanya Arsen, tangannya bergerak untuk membawakan barang-barang Moza.

"Urusannya udah kelar. Ngapain lama-lama?" sahut Moza, lalu menguap.

"Ngantuk gitu, tadi pake nggak mau dijemput."

"Ada taksi di dunia ini, Arsen. Aku cuma nggak mau kamu repot."

Paling tidak, jika dijemput, Moza bisa langsung tidur dan tahu-tahu sampai rumah. Arsen juga tidak perlu khawatir, pikir laki-laki itu. Ia pun mendengus pelan, lalu bertanya lagi. "Udah makan?"

"Udah tadi di pesawat."

"Ya udah, nanti di mobil tidur aja." Arsen tidak banyak bicara lagi, lalu memberikan satu tangannya untuk digandeng Moza. Membiarkan sahabatnya yang kelelahan itu bersandar padanya selagi berjalan menuju tempat mobilnya diparkir.

****

Arsen sengaja tidak menyalakan lagu atau radio supaya Moza bisa tertidur. Namun baru beberapa menit berjalan, Moza justru menyalakan radio.

"Kamu nggak tidur, Moz?"

"Bosen. Dengerin ini nanti juga merem," jawab Moza. Tangannya bergerak memposisikan bantal di belakang lehernya agar nyaman.

I'm falling in love dari Melly Goeslaw mengalun merdu menemani perjalanan mereka. Lampu demi lampu jalan dilewati. Malam semakin larut.
Mata Moza sudah terpejam beberapa saat, sebelum akhirnya terbuka lagi karena terusik oleh sesuatu.

"Ini Mia, kan?" celetuk Moza ketika mendengar suara seorang wanita yang muncul di salah satu iklan radio. Iklan tersebut mempromosikan klinik kecantikan ternama di kalangan artis, dengan cabang hampir di semua kota-kota besar di Indonesia. Moza terenyak, menilai sesuatu. "Public speaking dia makin bagus. Nggak heran brand-brand besar pada ngontrak dia jadi BA."

Arsen mengangguk. Selama ini Mia juga sering berbagi cerita tentang pekerjaannya yang semakin hari semakin baik. Mendengar respon positif Moza, ia pun menambahkan. "Hari ini dia juga diundang premiere film genre nasionalis gitu. Bareng sama aktor yang juga jadi BA di Kelaskita."

"Jadi BA Kelaskita secara nggak langsung ngerubah image dia. Dari model yang identik sama hiburan malam, ke figur yang menginspirasi gini. Good. But high risk juga. Tuntutannya makin tinggi. Nggak cuma kompetensi dia, tapi personal life dia juga jadi tolak ukur, bahkan jadi panutan. Cacat dikit dan nggak sesuai harapan masyarakat, bisa jadi bumerang." Moza menatap Arsen.

"Bukan cuma ke dia. Tapi ke nama-nama besar yang dia bawa. Kamu tau apa maksud aku."

Domino effect. Itulah yang dimaksud Moza. Arsen hendak bicara lagi, tapi dilihatnya Moza sudah memejamkan mata. Ia pun mengurungkan niatnya dan membiarkan perempuan itu terlelap.

----------------------------------to be continued

Let's talk about consequences

Everything has consequence

Choose your cosequence.

HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang