17. Rasa Mendua

Depuis le début
                                    

Mamanya jelas menahan sakit luar biasa. Arsen bahkan menangis saat mengetahui hal itu dulu. Bagaimana seorang manusia bisa hidup seperti itu? Apa yang telah dialaminya sampai rasa sakit seperti itu menjadi bukan apa-apa baginya?

Seseorang menepuk bahu Arsen. Membuatnya berjengit.

"Hey! Nyari siapaaaaa?" suara itu mengejutkan Arsen.

"Moza?" Arsen nyaris berteriak. Moza tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya. "Lo sakit apa?" tanya Arsen khawatir. Dan bingung. Dan kaget.

Moza mengangkat bahu. "Sakit ngantuk," jawab Moza lalu menguap.

Arsen mengerutkan keningnya.

Gemas dengan reaksi Arsen, Moza menggamit lengan sahabatnya itu lalu menyandarkan kepalanya di sana.

"Iyaaaa... sakit ngantuk. Gue habis baca buku Ayah semalem. Sampe jam tiga."

"Jadi cuma ngantuk?"

Moza mengangguk kecil, matanya sengaja ia pejamkan. Baru sesaat kemudian, ia menggerakkan kepalanya untuk menoleh ke petugas yang sedang piket hari ini.

"Mbak Tika, makasih ya... udah kasih tempat!" serunya.

"Iya. Asal jangan sering-sering, ya..."

Mbak Tika memang terbaik! Ia selalu menerima kedatangan Moza, apalagi jika UKS sedang kosong. Ia juga jarang mempermasalahkan keluhan Moza. Ia tahu Moza sebenarnya gadis baik. Hanya saja ia terlalu istimewa untuk sekadar mengikuti pelajaran normal. Moza seringkali ke UKS untuk sekedar beristirahat atau membaca.

"Sudah. Jangan terlalu banyak gerak dulu." Mbak Tika menyelesaikan kegaitannya merawat luka siswi yang terluka tadi.

Gadis itu mengangguk.

Mbak Tika bangkit untuk menulis di buku catatan pengunjung. "Siapa nama kamu tadi?"

"Mia. XI IPS 2."

Arsen mengingat nama itu.

****

Di masa sekarang, tak ubahnya seperti bertahun-tahun lalu, Arsen tidak bisa tinggal diam jika sesuatu menimpa Moza.

Arsen beru saja terbangun dari tidurnya, ketika mendapat kabar bahwa Moza terkena anemia dan harus istirahat beberapa hari. Maka dalam keadaan masih berantakan, ia pun segera menghubungi Moza melalui video call.

"Hai, morning...," sapa Moza dari seberang.

Arsen hendak memberondong Moza dengan pertanyaan seputar kejadian kemarin..., bagaimana Moza bisa pingsan saat bekerja, bagaimana bisa sahabatnya itu lalai terhadap kesehatan hingga drop seperti itu. Namun, ia sadar bukan itu yang penting sekarang.

"How do you feel, Moz? Better?"

Moza tersenyum, gadis itu masih berada di ranjangnya. Matanya menyipit kala mendapati pemandangan tidak biasa di layar ponselnya. "Kamu tidur masih pake kemeja?"

Arsen mengusap lehernya, menyadari penampilannya.

"Kamu tidur di sofa ya?"

"Iya, um..."

"Sofa kantor? Kamu lembur sampe ketiduran?"

Arsen menelan ludah. Alih-alih dirinya yang menginterogasi Moza, yang terjadi justru sebaliknya. "Moz... calm down. Iya, aku tidur di sofa. Tapi bukan di kantor, bukan karena kerja. Aku nginep di... di tempat temen, makanya tidur di sofa."

"Oh." Moza bergumam.

Arsen menghela napas. Ia menatap apartemen Mia, kemudian kembali ke layar. Ia menelan ludah kasar. Tidak memberi tahu Moza yang sebenarnya, sama saja berbohong. Dan berbohong adalah kejahatan. Namun jika memberi tahu Moza, apakah tidak apa-apa dalam kondisi Moza yang seperti ini?

"Sen?"

"Kamu pingin makan apa? Biar aku bawain." Akhirnya, kalimat itulah yang terucap.

"Kamu mau ke sini?"

"Iya. Aku musti lihat kondisi kamu." Arsen menjeda kelimatnya sesaat, "sekalian ada yang mau aku omongin."

"Soal apa?"

"Nanti aja," balas Arsen. Ia tidak bisa menyampaikan soal dirinya dan Mia tanpa bertemu langsung.

"Oke, kalo gitu aku mau sushi," kata Moza. Yang langsung membuat Arsen melebarkan matanya.

"Pagi-pagi gini mana ada resto Jepang yang buka, Moz?"

Moza tertawa. "Kamu tanya aku pingin apa 'kan. Aku jawab. Nggak harus dibawain. Beliin bubur ayam pinggiran aja, pingin yang gurih-gurih. Makanan rumah kayak makanan rumah sakit, nggak ada rasanya."

Arsen tersenyum. "Oke..,"

"Inget ya, Sen... bubur abang-abang pinggiran. Jangan yang mahal!" Moza menekankan, yang langsung mendapat acungan jempol dari tangan Arsen, sebelum akhirnya koneksi keduanya terputus.

Arsen meletakkan kembali ponselnya. Terdengar suara kenop pintu, disusul dengan daun pintu yang terbuka, dan sosok Mia keluar dari kamar. Gadis itu baru saja mandi, handuk masih terlilit di rambutnya yang baru saja keramas.

"Kamu kalo mau mandi, aku udah siapin handuk sama sikat gigi," kata Mia.

Arsen mengangguk. "Kaki kamu udah nggak pa-pa?

"Agak sakit buat jalan, tapi masih bisa. Barusan udah aku kompres air hangat juga pas mandi," jawab Mia.

"Kalo makin bengkak atau gimana, ke dokter aja. Jangan lupa kabari aku juga."

Mia tersenyum. "Iya, Sen..."

"Oke, aku pake kamar mandi kamu dulu ya?" kata Arsen, yang dibalas anggukan oleh Mia.

****

Mia menyukai rasa asam dan manis tomat ceri yang berbaur dalam mulutnya. Pagi ini saja, sembari berselancar di instagram, ia sudah mengunyah hampir separuh mangkuk tomat ceri organik yang tidak pernah ia biarkan kosong di kulkasnya.

Beberapa followers merespon unggahan status Mia yang memuat foto dirinya dengan semangkuk kecil tomat ceri yang merah merona diterpa sinar mentari pagi yang menembus melalui jendela.

Cerry tomato. As always ya..

Gara-gara ka mia, aku jadi nyetok tomat ceri juga.. padahal awalnya ga suka buah samsek

Mia mengetuk dua kali layar ponselnya demi memberikan "like" pada beberapa balasan story yang sempat dibacanya. Bibirnya menarik senyuman. Ia tidak menyangka hal sederhana seperti ini ternyata bisa memberikan pengaruh positif bagi orang lain.

Suara bel unit apartemen menghentikan aktivitas Mia. Wanita itu beranjak untuk membukakan pintu. Ia bisa mengira bahwa itu adalah Tonny. Biasanya jika sedang membawa barang banyak, manajernya itu akan memencet bel meski sudah tahu kode akses pintu apartemennya.

------------------------------------to be continued

Kala rasa mengalahkan logika,
cacian dan makian seringkali datang dari mereka yang tidak terlibat..

HEROINOù les histoires vivent. Découvrez maintenant