Epilogue

71.1K 4.7K 797
                                    

Vote and comment please.
***

          Fews years letters...

"K.G.P.A.A Tarendra Suparto Bena Adhinatha. 45 tahun, Penyakit Paru Obstruktif Kronik*. Pasien tidak memiliki penyakit bawaan, dijadwalkan untuk dilakukan single transplantasi paru-paru."

Sean Aldarict, dokter bedah umum yang bertanggung jawab atas prosedur operasi kali ini menyebutkan status kondisi pasien yang akan timnya tangani sebentar lagi.

Tiga orang perawat, satu dokter bedah kardiotoraks, dua dokter anastesi serta satu orang dokter vaskular dan endovaskular yang berdiri dihadapannya segera mengangguk.

Mereka semua telah melakukan sterilisasi dengan membersihkan diri dan mencuci tangan, mengenakan baju operasi, goggle, masker, handscoon, serta alat pelindung diri lainnya untuk memenuhi standard perlindungan diri operator dalam operasi.

Pasien sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di ranjang bedah, ter-anastesi dan telah dipasang endotracheal tube* pada mulutnya yang terhubung dengan ventilator* sebagai alat bantu pernapasan, serta monitor sebagai acuan tekanan darah dan tanda vital untuk menjaga kestabilan kondisi pasien selama operasi berlangsung.

"Meski yang sekarang kita tangani adalah Adipati Mangkunagara, jangan tegang. Anggap saja beliau sama seperti pasien lainnya dan kita berkewajiban menolongnya apapun yang terjadi. Mengerti?" Perintah pria yang belum lama ini telah diangkat menjadi wakil ketua ICS (*International Community of Surgery).

"Baik dok!" Seluruh dokter serta staff yang telah siap dengan perlengkapan operasi menjawab kompak.

Sean menoleh pada dokter bedah kardiotoraks di sisi pasien yang lain dari balik masker dan kaca mata pelindungnya, kemudian bernapas sebentar untuk menenangkan diri lalu mengangguk.

"Kita akan melakukan prosedur pneumonektomi*, melakukan transplantasi dan sebisa mungkin mencegah terjadinya table death." Katanya.

"Semuanya bersiap."

Para dokter dan perawat langsung mengangguk.

"Mess."

Perawat disebelah Sean dengan cekatan mengambil pisau dari nampan instrumen kemudian memberikannya pada Sean.

Ruangan itu mendadak tenang dengan hanya suara bunyi mesin perekam aktivitas jantung pasien saja yang terdengar berdetak hingga membuat ruangan menjadi terasa begitu serius.

Dokter bedah kardiotoraks di ruangan menatap pekerjaan Sean, sama seperti semua orang disana yang fokus memperhatikan penyayatan efisien yang baru saja dilakukan Sean.

Tidak lagi terkejut, mereka semua sudah menebak bahwa pria yang belakangan bahkan disebut sebagai dokter bedah umum paling hebat se-negri imi, telah meng-insisi tengah dada pasien, bagian yang direncanakan hingga terbuka dengan baik—sempurna.

Pria itu lalu menyerahkan blade yang digunakannya pada perawat.

"Sternotomy median* dimulai." ujarnya, memulai tahapan pertama prosedur operasi mereka.

"Bone Bor."

Sean mengambil bor tulang yang diberikan oleh perawat, lalu dengan hati-hati melakukan pemotongan. Perawat dengan cepat membaluri daerah kerja Sean menggunakan cairan saline (*larutan garam fisiologis) untuk mengurangi kerusakan pada tulang atau jaringan lain yang akan dibuka.

at: 12amTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang