9. Selalu Ada Jalan Pulang

Mulai dari awal
                                    

"Is there something wrong? Nggak biasanya kamu ngumpat-ngumpat gini."

Suara itu membuat Arsen menoleh ke belakang.

"Moza?" seru Arsen. Dilihatnya Moza tengah berdiri di tepi kolam, tak jauh darinya. Gadis itu bersedekap sembari mengamatinya.

"Mia ya?" Moza bersuara, belum beranjak dari tempatnya.

Arsen menelan ludah. "Ten years. It's been a long time, right?"

"Sorry, Moz. Aku..."

"No. It's okay. Aku nggak nyangka aja pertemuan kalian kemarin berefek segitu besar ke kamu."

"Aku nggak bisa untuk nggak mikirin dia, Moz. Apalagi tau apa yang lagi dialami dia sekarang."

Moza berdecak. "Kamu dulu waktu aku tinggal pembinaan OSN, main sama siapa, sih? Kok bisa-bisanya keracunan cinta gini."

Arsen terdiam.

Lalu, Moza mendekat. Diraihnya batang rokok yang masih terbakar setengah dari tangan Arsen, kemudian membuangnya. Ia menatap mata sahabatnya. "Jangan suka nyiksa diri kamu sendiri," ucapnya lirih di dekat telinga Arsen. Tamu-tamu lain yang mengintip mereka dari dalam rumah mungkin mengira keduanya sedang berciuman.

Detik berikutnya, Moza menarik tubuhnya menjauh. Sebelum berbalik, ia menyeru lagi.

"Dan jangan kebanyakan ngerokok! Aku nggak mau jadi janda dan ngurus anak sendirian. Repot!" katanya kemudian masuk lebih dulu ke dalam.

****

Ponsel Tonny berteriak-teriak ketika Tonny membuka pintu apartemen Mia dengan satu tangan, sementara tangan satu lagi menenteng kresek berisi pesanan makan siang yang ia terima dari abang ojol tadi.

"Duh, iya-iya bentar! Tangan cuma dua juga," keluh Tonny, tak tahan dengan bunyi berisik yang memburunya.

Setelah berada di dalam dan meletakkan kantong kresek itu di meja, cowok itu meraih ponsel di sakunya. Kali ini ponsel pribadinya yang berbunyi.

"Gimana Mia, Ton?" tanya suara dari seberang tanpa repot-repot mengucap salam.

Tonny diam sebentar, menata napas. Bengek juga dia setelah menempuh perjalanan ke lobi, dan balik lagi ke unit apartemen Mia yang berada di lantai dua puluh. Ya meski pun naik lift, tetap saja. Ia butuh jeda untuk napas dulu!

"Ton?" tanya suara dari seberang, tidak sabar. Teman Mia satu ini memang minta dipites biar diem, pikir Tonny.

"Iya Helen... Gue denger kok." Akhirnya, Tonny mulai bicara. "Susah dibujuk makan. Ini gue sampe order seafood biar dia ngiler."

"Dari pagi nggak makan?" tanya Helen mengingat sekarang waktu sudah lewat pukul dua belas siang.

"Gue baru ke sini jam sepuluh tadi. Dan gue lihat martabak yang gue beliin semalem udah diambil sepotong. Lo tau sendiri, kan? Martabak tuh doyanan dia, tapi dia cuma ambil sepotong."

Giliran Helen yang menarik napas berat. "Tapi, nggak sampai bablas ngelakuin selfharm, kan? Singkirin aja benda-benda bahaya, rokok sama bir juga."

Tonny menggigit bibir. Ia melirik kamar Mia yang berantakan, tumpukan kaleng bir yang habis diminumnya, juga puntung rokok yang habis dihisap gadis itu.

Alih-alih menjawab, Tonny bertanya hal lain. "Lo kapan ke sini? Jadi balik Jakarta sore ini?"

Di ujung sana, Helen memijit pelipisnya. Baru saja dia mendapat laporan bahwa ada sedikit masalah pada project yang tengah ditanganinya. Ia harus tinggal agak lama. "Belum bisa. Ada masalah di sini."

"Ya udah lo kelarin kerjaan lo deh. Biar gue yang urus Mia."

"Inget pesan gue tadi ya?"

"Iya bawel!"

Helen hendak mengakhiri panggilan sebelum Tonny berseru, "eh, Helen!"

Sejak semalam, pikiran Tonny terganjal oleh satu hal. Ia terus teringat reaksi Mia ketika tanpa sengaja mendengar percakapannya dengan salah seorang penelpon. Kala itu, Mia yang keluar dari kamar mandi seketika menghentikan langkah dan menatap Tonny agak lama begitu sebuah nama disebut. Entah karena kondisi sekarang Tonny menjadi lebih sensitif dan mungkin berlebihan, tapi yang terbaca oleh Tonny saat itu adalah seperti reaksi... entahlah, dejavu? Terlempar ke masa lalu? Yang jelas hal itu mengusiknya sampai sekarang

Helen menunggu Tonny bicara.

"Tadi ada orang random nelpon ngaku-ngaku temen Mia. Bom dm sama email juga minta ketemu Mia. Namanya Arsen. Lo kenal?"

Di tempat Helen, cewek itu terdiam. Nama itu membawanya untuk mengingat sesuatu.

"Len?" Tonny bersuara saat jeda dirasanya terlalu panjang.

Tidak banyak nama Arsen yang ia kenal. Kalau penelpon itu benar tidak berbohong, besar kemungkinan dia adalah Arsen yang itu.

"Mungkin Arsen yang itu," gumam Helen.

"Yaelah, Arsen yang mana? Yang jelas!"

"Gue nggak tau. Mia nggak pernah cerita. Tapi kayaknya orang yang dulu deket sama Mia."

****

Arsen menutup kopernya usai mengemasi semua barang-barangnya. Ia meraih ponselnya lalu menekan ikon pesan suara untuk dikirim ke Moza.

"Aku berangkat bentar lagi." Begitu rekaman suara yang terkirim.

Beberapa saat kemudian, muncul balasan dari Moza.

"Udah nggak ada yang ketinggalan? Sori nggak bisa nganter sampe bandara."

Arsen tersenyum. Ia tahu alasan Moza tidak menemaninya ke bandara, sebab gadis itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia pun membalas,

"Nggak pa-pa. Kamu jangan capek-capek, Moz."

Arsen menuruni tangga. Di meja makan, ibu tirinya, Kazi, sedang memuangkan olive oil untuk dressing salad. Di sampingnya, Irene meracik saladnya sendiri dengan keju dan yogurt.

"Kak Arsen udah mau berangkat?"

Arsen tidak menjawab. Ia menghampiri adiknya dan langsung mengacak rambut gadis itu.

"Aku boleh ikut nganter, nggak?" tanya Irene.

Sambil mengaduk saladnya, Kazi menyahut. "Kamu 'kan masih banyak PR, Ren. Katanya tadi janji mau ngerjain."

"Tuh... dengerin Kazi. PR belom kelar aja mau keluyuran," timpal Arsen. Diam-diam merindukan masa-masa di mana masalah-masalahnya hanya seputar PR.

"Kamu nggak makan dulu, Sen? Ada sayur sop kesukaan kamu tuh." Kazi berucap. Perempuan yang cuma selisih beberapa tahun dengannya, dan lebih terlihat seperti kakaknya itu memang cukup perhatian.

"Nanti aja sambil nunggu take off," jawab Arsen disertai senyum, dilihatnya jam hampir menunjuk angka enam sore.

Bagi Kazi, Arsen juga anak yang manis. Dari awal mau menerima dan selalu menghormatinya. Sedikit berbeda dengan Enand, anak tirinya yang satunya.

Arsen akhirnya berpamitan dengan keluarganya, kecuali papanya dan Enand yang tidak ada di rumah. Rumah itu pun kembali sepi ketika taksi yang ia tumpangi meluncur meninggalkan rumah.

Baru keluar komplek, sebuah nada panggilan dari ponselnya menyeruak. Arsen langsung meraih ponselnya dari saku. Ditatapnya nama yang tertera di layar.

"Manajer Mia?" gumamnya.

---------------------------------to be continued

Auto nahan napasssssss.....

Jadi balik gak nihhhh


HEROINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang