5. Yang Tertinggal

Start from the beginning
                                    

Mata Moza kemudian beralih ke salah satu di antara tiga orang tadi, cowok berambut cepak. "Guntur, kamu yang buat pendekatan produknya?"

Cowok berambut cepak itu mengangguk cepat. "Iya, Bu."

"Udah bagus. Cuma lebih highlight solusi dan value yang ditawarkan. Kamu bisa lihat tagline yang saya buat untuk beberapa iklan sebelumnya."

Guntur dengan khidmat menyimak dan mencatat saran bosnya.

"Oh iya! Untuk modelnya, dari profilnya saya lebih condong ke kandidat ke dua. Tapi nggak apa-apa kalian ajukan dua-duanya sambil lampirkan riset lebih lengkap tentang keduanya."

Saran itu langsung diamini ketiganya.

"Revisi secepatnya. Saya mau minggu ini usulan udah dikirim ke klien. Jadi paling lambat, besok kalian harus email ke saya."

Meeting itu akhirnya ditutup setelah semua poin selesai dibahas dan disanggupi oleh peserta meeting. Beberapa saat setelahnya, ponsel Moza berdering. Sambil menerima panggilan, Moza masuk ruangannya dengan mendorong pintu yang terbuat dari kaca itu menggunakan bahunya.

"Iya, Sen?" sapa Moza.

"Kamu nelpon aku tadi, kenapa?" tanya Arsen.

Moza menjatuhkan tubuh di kursinya. "Cincin yang kita pesen waktu itu udah sampai di rumahku. Pagi-pagi tadi Bunda nyuruh aku ngasih tau kamu supaya cepet-cepet nyobain. Biar kalo nggak cocok bisa langsung komplain hari ini."

Ada jeda yang membentang usai Moza menyampaikan perihal cincin itu. Kemudian alih-alih tanggapan dari Arsen, yang terdengar selanjutnya adalah suara samar orang lain dari seberang.

"Satu cangkir Latte, croissant. Ada lagi yang bisa dibantu?"

"Nggak, makasih." Arsen bicara yang sepertinya ditujukan untuk suara tadi.

"Kamu lagi di mana?" tanya Moza.

"Kedai kopi."

Moza mengerutkan alis. "Sejak kapan kamu doyan ngopi?"

Terdengar helaan napas berat dari ujung sana. "Aku ..., lagi di kedainya Mia."

Tangan Moza yang tengah membubuhkan tanda tangan ke beberapa dokumen sempat terhenti ketika mendengar pengakuan Arsen.

"Oh. Kalian ketemuan?" Moza menanggapi, jemarinya pun sudah mulai bekerja lagi.

"Enggak. Kemarin sempat ketemu. Tapi hari ini kayaknya enggak." Nada kecewa tersirat jelas dari suara Arsen. Sahabatnya itu benar-benar tidak bisa menyembunyikan apa pun darinya. Semuanya transparan.

"Jangan bilang kamu yang lagi usaha ngejar Mia dan kamu ditolak?" Moza tidak bisa menahan untuk tidak menyuarakan tebakannya yang jitu.

Arsen mendesah putus asa.

"Payah kamu, Sen! Ternyata aku tunangan sama cowok yang dicampakan sama cewek lain." Moza tertawa pelan, setengah bercanda.

Mendengar frasa "tunangan", Arsen kembali mengingat perihal cincin tadi. "Oh iya. Soal cincin, nanti aku ke rumah kamu aja. Kamu pulang jam berapa?"

Moza menimang singkat, "paling lambat, jam delapan udah di rumah."

Sebelum pembicaraan itu benar-benar berakhir, Moza terpikir untuk menyampaikan sesuatu.

"Sen," panggilnya, lalu menutup semua berkas yang sudah dia tanda tangani. Ia bersandar di kursi. "Aku nggak peduli kamu masih mau ngejar Mia atau enggak. Perasaan kamu ke dia ... aku juga udah tau. Selama ini aku nggak terganggu. Tapi saat kita resmi nanti, sebisa mungkin jaga sikap kamu di depan umum. Kamu boleh kencan sama siapa pun asal jangan sampai terendus orang luar apalagi media, yang akhirnya bikin nama baik keluarga kita jatuh."

Moza menarik napas sebelum akhirnya melanjutkan.

"Kamu tahu 'kan konsekuensi karena kita udah mulai ini semua? Kita nggak bisa batalin seenak jidat. Secara kasar, yang punya relationship mungkin kita. Tapi hubungan ini bakal merembet ke yang lain. Posisi kamu, bisnis Ayah, bahkan nama baik bundaku dan yang lain-"

"Semuanya bakal kacau..." Arsen menambahkan, sebelum Moza selesai bicara. Ia merasakan tenggorokannya serak. Bayangan Moza harus kembali dijodohkan dengan orang asing, orang tua Moza yang bakal kecewa kalau sampai pertunangan mereka batal ..., terutama papanya yang senang bukan kepalang ketika ia bilang akan mencoba dengan Moza.

"Kenapa baru sekarang? Papa pikir kamu udah pinter dari dulu buat nentuin partner hidup. Nggak ada pilihan paling tepat selain Moza, anak semata wayangnya Teddy Wijaya," kata papanya waktu itu.

Semuanya tergambar di kepala Arsen. Membuatnya mengikatkan kembali tali harapan di punggungnya hingga ia mampu berdiri tegak memenuhi pengharapan orang-orang yang disayanginya.

Ia tidak akan mundur. Usai menyesap Latte di hadapannya, Arsen akhirnya bersuara tanpa menganggap kalimat panjang Moza tadi ada.

"Aku sampai rumah kamu sebelum jam delapan. Kamu jangan lama-lama pulangnya."

Moza tersenyum. Di antara sifat-sifat Arsen yang ia pahami, sifat egois adalah yang paling jauh dari sahabatnya itu.

---------------------------to be continued

Senyuman Mbak Moza penuh arti....

Apakah ada yang sudah menentukan pilihan mau nyoblos siapa?

Eitss.. maksud aku, mau naik kapal siapa di sini?

Arsen - Mia, atau Arsen - Moza???

HEROINWhere stories live. Discover now