Mia sampai di lantai satu. Tonny, manajernya, baru saja memberi tahu ada seseorang yang ingin menemuinya. Ia pun mengikuti arahan cowok itu untuk menuju meja nomor 02. Ketika sampai di bilik meja nomor tersebut, Mia tidak bisa mengantisipasi keterkejutannya.

"Arsen? Kamu ngapain ke sini?"

Suara itu mengambang di udara sampai akhirnya laki-laki yang disebut namanya menoleh.

****

Laki-laki yang ditanya tersenyum. Ia meletakkan brosur yang iseng dibacanya, lalu menengok ke sumber suara.

"Ngopi. Ini kedai kopi, kan?" katanya

Mia menghela napas. Jam baru menunjukkan pukul sebelas. Tulisan "OPEN" di pintu masuk kedainya bahkan baru saja dibalik. Arsen adalah pelanggan pertamanya hari ini. Jadi meski lebih mudah baginya untuk mengusir laki-laki itu dari pada duduk beramah tamah di hadapannya, Mia tidak mungkin memilih pilihan pertama.

"Udah pesen?" tanya Mia.

Arsen menggelengkan kepala. "Belum."

Mia duduk di hadapan Arsen lalu menyodorkan daftar menu yang selain terpampang di papan yang berada di tempat pemesanan, juga terselip di masing-masing meja pelanggan.

"Kami pakai dua jenis kopi, arabika sama robusta. Silahkan dilihat dulu," ucap Mia dengan nada sopan.

Arsen menyambut daftar menu itu. Senyum tipis tersemat di wajahnya tanpa bisa ia tahan. Ia menimang sejenak, lalu menjatuhkan pilihan. "Espresso," katanya.

Ada sedikit jeda setelah itu.

Pada detik ini, keduanya seolah tengah dihadapkan pada satu transaksi peruntungan. Arsen yang sedang memancing reaksi Mia, bertumpu pada satu harapan. Sementara Mia dengan kepingan ingatan masa lalunya yang tersisa, mencoba meraba dan meniti kemungkinan.

Apa penyakit lambungnya yang dulu sering menjadi masalah sudah membaik selama sepuluh tahun belakangan?

Apa baik-baik saja jika dia minum kopi?

Apa sudah biasa baginya minum espresso?

Kenapa bukan Americano atau Macchiato saja?

Apa Arsen sudah makan sebelum datang ke tempat ini?

Pertanyaan itu menyerang pertahanan Mia.

Alis Mia terangkat. Sudah sepuluh tahun. Banyak hal berubah. Begitu pula Arsen yang pastinya sudah cukup dewasa untuk mempertimbangkan perkara perutnya sendiri tanpa perlu dikhawatirkan oleh orang asing sepertinya. Ia pun melambaikan tangan ke arah Bintang, salah satu pelayan kedai ini.

"Satu cangkir espresso...." Mia menoleh ke Arsen. "Arabika atau robusta?"

"Arabika. Lebih aman buat lambung, kan?"

Si pelayan mengangguk.

Ada sedikit kelegaan dalam dada Mia atas pilihan Arsen. Gadis itu menyandarkan tubuh ke kursi tepat ketika Bintang berbalik.

Matanya sempat teralihkan saat beberapa pengunjung akhirnya berdatangan. Awal yang menyenangkan, Mia tidak ingin merusaknya dengan emosi yang tidak perlu. Termasuk menyangkut hubungannya dengan laki-laki di hadapannya sekarang.

"Dari mana kamu tahu tempat ini?" Mia memulai, nadanya terdengar santai.

"Instagram kamu. Tenar ya, kamu sekarang."

Mia tersenyum kecut. Kalau bukan karena zaman sekarang uang lebih mudah didapatkan dengan cara begini, Mia tidak akan rela keseharian bahkan kehidupan pribadinya jadi konsumsi publik.

"Jadi orang penting kayak kamu juga main instagram, ya?" tanya Mia.

"Kalo kebutuhannya untuk cari informasi, kenapa enggak?" Arsen menyahut. Jemarinya mengetuk-ketuk meja seolah menekan tuts piano. Ia menikmati musik yang sedari tadi mengalun di kedai kecil itu.

Pesanan kopinya sudah tiba dan Arsen meminumnya dalam sekali teguk.

Mia menatap Arsen. Meski terdapat tanda-tanda pria itu tumbuh dewasa seperti titik-titik kecil sisa bercukur di dagunya, atau gaya berpakaian dan bau parfum maskulinnya..., Mia masih bisa menangkap sorot ambisi dan kekanakkan dari mata Arsen. Ia hendak berkomentar ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

"Ehm, sori." Mia meraih ponselnya yang tadi tergeletak di meja kemudian menempelkannya di telinga.

"Iya Len?" sapanya. "Gue..., di kedai." Mia melirik Arsen sekilas. Tangannya mencoel-coel tempat tisu yang terbuat dari dari bahan kayu.

"Ah makan siang?" Mia melirik arloji di tangannya. Seseorang di seberang masih bicara.

"Oh enggak... Pemotretannya masih nanti jam setengah tiga."

".... Ehem.. oke."

Keduanya memutus sambungan.

"Siapa? Pacar kamu?" tanya Arsen iseng. Dari cara Mia bicara, Arsen bisa menebak bahwa itu adalah teman. Lagi pula, cowok mana yang dipanggil 'Len'? Leonel? Alen? Paling juga Leni, Lena, atau Helen. Dan semua adalah cewek..

Mata Mia menyipit. Ia meremas ponselnya seraya melipat kedua tangannya di dada. "Apa kita cukup dekat buat ngebahas itu?"

Arsen menelan ludah. "Sorry."

Mia tergelak. "Yeah, pacar. She's my girlfriend," ungkap Mia asal. Yang disambut raut tercengang dari Arsen.

"Aku harus pergi sekarang. Thank's for coming." Mia beranjak, berniat mengambil tasnya yang ia tinggalkan di atas.

Sebagai respon, Arsen merogoh sakunya, memeriksa dompet dan beruntung lah dia ketika menemukan kartu nama di sana.

"Ini kartu namaku." Diberikannya benda itu ke Mia.

Meski terlihat enggan, Mia mengulurkan tangan untuk menerima benda itu.

Saat tidak melihat tanda-tanda Mia melakukan hal yang sama, Arsen berkomentar, "Seenggaknya kamu kasih kontak kamu sebagai balasan," kata Arsen.

Mia memutar bola matanya. "Kamu bilang tahu tempat ini dari instagram-ku, kan? Di sana ada kontak manajerku. Semua klien ngontak aku dari situ."

Seriously, Mia... Emang kamu pikir aku mau endorse?

Arsen mengeluh dalam hati.

----------------------------------to be continued

Hayooooo Arsen kalo ga mau ngendorse, mau ngapain hayo.. minta kontaknya Mbak Selebgram?

Deuuh Arsen nih, baru balik ke Indonesia udh ribet sama dua cewek. Gimana kalo stay lama di Indonesia?

HEROINحيث تعيش القصص. اكتشف الآن