"Kau tidak perlu membela putraku, Aldebaran. Kalau aku jadi Hera pun aku juga akan sama takutnya karena terbangun di rumah seseorang yang aku benci."

"Irene." Aldebaran memanggil temannya itu sambil menarik nafas.

Dia tidak tahu apakah Irene ini memang sudah terlalu menyukai putrinya, atau dia memang begitu polosnya hingga bisa tetap berpikir bahwa Hera benar dalam situasi seperti ini.

Irene mengeluarkan sebuah surat keterangan dari tasnya lagi, lalu membuka surat itu dan meletakannya di atas meja.

"Kalau kau benar-benar tidak percaya pada Hera, tolong lihat ini. Keterangan medis ini tidak mungkin salah kan?" katanya lagi, benar-benar terlihat tidak gentar berada di pihak Hera.

"Hera."

Kalista yang sejak tadi hanya memperhatikan perkataan Irene tanpa menyela, membuka suara.

"Kamu sadar sudah benar-benar mengecewakan Bunda?"

Dia melihat putrinya yang terdiam dengan ekspresi kecewa.

"Situasi macam apa ini hingga kamu lebih dulu memilih meminta bantuan pada ibu pria yang telah menghamili kamu dari pada orang tua kamu sendiri? Kamu tidak percaya dengan kami?" Tanya Kalista.

Hera tidak menjawab.

"Hera Travoltra, jawab Bunda!"

"Maaf Bunda."

"Bunda tidak mau mendengar permintaan maaf mu, Bunda mau mendengar penjelasanmu."

Hera membuang mukanya dan menghela.

"Apa Ayah akan mempercayaiku? Apa Ayah akan percaya pada omonganku daripada rekan kerjanya yang rasional?" Tanya Hera sedih.

Hera melirik Aldebaran yang tampak terkejut dengan perkataannya.

"Aku takut karena tidak tahu harus berkata pada siapa, Bun. Tante Irene satu-satunya yang percaya padaku, jadi aku mengatakan padanya dan—"

"Satu-satunya?"

Kalista langsung mengerutkan wajahnya, tersinggung.

"Bunda akan mempercayaimu Hera! Sekalipun tidak ada bukti yang menyatakan kalau kamu dan Sean pernah menghabiskan malam bersama, Bunda akan mencarikan solusi untukmu." katanya, dia mengusap wajahnya dengan kesal.

"Tapi kau memilih lebih dulu mengatakannya pada Irene dan membuatnya jadi semakin kacau. Sekarang bagaimana kita harus—"

"Jadi aku harus bagaimana Bun?"

Hera tiba-tiba menyela, berdiri, menatap ibunya dengan tatapan putus asa.

"Aku harus melakukan apa? Ayah tidak akan percaya jika aku berkata aku hamil karena rekan kerja kebanggaannya itu. Bunda juga akan lagi-lagi mengabaikanku dan berpikir aku bisa menyelesaikannya meski perkataan Ayah sangat menyakitiku. Lalu ayah bayi ini sangat membenciku karena aku telah menghancurkan hubungannya dengan kekasihnya."

"Aku ketakutan, Bunda. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi hal seperti ini!" Ujar Hera mengebu-gebuh dikuasai amarah.

"Aku tahu selama hidupku, Ayah dan Bunda tidak pernah sekalipun tidak di pihakku, tapi meski ini bukan hal yang membanggakan, tolong percayai aku sekali ini lagi saja."

Hera terduduk dan Irene dengan sigap mengusap bahunya untuk menenangkan.

"Aku hamil, dan Sean adalah ayah dari anakku."

Hera menggigit bibir bawahnya menahan tangis yang sejak tadi hendak menerobos pertahanannya.

"Aku akan melakukan tes DNA saat kehamilanku sudah memungkinkan, jika Ayah dan Bunda tetap tidak bisa mempercayaiku." Katanya lemah.

"Dan kalau perlu, jika kehamilanku terbukti bukan karena Sean. Aku akan segera berpisah dengannya dan menyingkir dari hidupnya selamanya."

"Hera!" Irene mengintrupsi, sangat tidak terima dengan perkataan Hera barusan.

Hera segera menoleh padanya, lalu tersenyum.

Dia memegang tangan wanita senja yang benar-benar berada di sisinya itu untuk menenangkan.

"Aku hanya ingin anakku terlahir dengan dokumen lengkap dan status resmi kedua orang tuanya... tidak lebih."

***
Enjoy!

Lets follow Sean & Hera on istagram!
@/Heratravoltraa
@/Seanaldarict

With love.
nambyull

at: 12amWhere stories live. Discover now