Empat Puluh Empat

7.6K 235 14
                                    

Saat ini Rea berada di lapangan sekolah bersama ketiga sahabatnya. Hari ini adalah jadwal kelas XI IPA1 olahraga.

Rea duduk di pinggir lapangan dengan kaki yang diselonjorkan. Di sebelahnya ada Desma dan Laras yang juga melakukan tipe duduk yang sama. Sedangkan Vika sedang mendapat giliran untuk praktek lompat jauh sesuai urut absen.

"Gue haus," keluh Laras sambil mengusap keringat yang berada di dahinya.

"Ke kantin, yuk!" ajak Desma dengan pedenya.

"Emang boleh? Yang lain aja masih praktek lompat jauh," ucap Laras sedikit nyolot.

"Yaudah ayo makannya izin Pak guru," balas Desma dengan nada sedikit ngegas. Laras mencebikkan bibir dan berdiri dari duduknya diikuti Desma.

Rea mendongak menatap kedua temannya yang berdiri dengan kerutan di dahinya.

"Kalian mau kemana?" tanya Rea menatap keduanya bergantian.

"Mau beli minum. Ikut yuk!" Rea menggeleng cepat untuk menjawab ajakan Laras.

"Nggak mau, mager. Gue titip ya?" Rea menujukkan puppy eyes-nya. Berharap kedua sahabatnya akan luluh dengan tatapannya.

"Yaelah, dasar lo mageran!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Laras berjalan ke arah kantin diikuti Desma di belakangnya.

Rea menatap ke arah sepatu yang ia pakai. Ia tiba-tiba saja memikirkan cerita masa lalu yang diceritakan Reno. Walaupun baru sebagian, tapi setidaknya Rea mengetahui fakta yang selama ini Reno takutkan.

Sebenarnya Reno masih ingin bercerita banyak. Tapi karena cuaca mendung dan hari semakin malam, Reno menunda kelanjutannya dan akan menceritakannya di lain waktu saja.

Rea hanya mengangguk dan tidak mungkin memaksa Reno untuk bercerita sekarang. Rea masih tau batasan kok.

Seseorang menepuk bahu sebelah kanannya, membuat Rea sedikit tersentak dan menoleh untuk melihat orang yang sudah menghancurkan lamunannya.

"Mikirin apa?" tanya Reno sedikit terkekeh.

"Mikirin Allan," jawab Rea pelan. Reno langsung memasang ekspresi datar yang sulit untuk dibaca.

"Ngapain mikirin Allan? Nggak guna!" gertak Reno dengan berdecih pelan.

Rea terkekeh melihat perilaku Reno yang seperti ini. Reno sepertinya benar-benar membenci kakak angkatnya sendiri, yang dulu juga ia anggap sebagai sahabat.

"Mikirin gue aja, Re. Biar gue seneng," ucap Reno sambil menaik turunkan alis.

"Idih, ngarep lo!" Reno melirik sekilas Rea, kemudian memasang ekspresi cemburut yang membuat Rea ingin sekali membuangnya ke rawa-rawa sekarang juga.

Saat keduanya sedang dalam mode pura-pura merajuk, Ferro datang bersama Vika dengan wajah berserinya. Vika yang sudah selesai praktek lompat jauh, sedangkan Ferro yang sudah selesai menjadi asisten pak guru untuk menulis nilai praktek.

"Pacaran mulu kalian," cibir Vika sambi duduk di sebelah Rea diikuti Ferro duduk di sebelah Reno.

"Pacaran pala lo peang!" kata Rea nyolot.

"Eh, gue pingin kita main bareng, Guys," ucap Ferro tiba-tiba.

"Main ke mana? Kayak nggak pernah main aja, lo." Ferro mendelik ke arah Reno dengan tatapan sinis yang di buat-buat, namun jatuhnya terkesan aneh di mata Reno, Rea dan Vika.

"Sok banget tatapan lo. Aneh, kayak tuyul jadinya," sinis Vika yang membuat Rea dan Reno tertawa.

"Bacot." Vika ikut tertawa saat mendapat balasan tak terima dari Ferro.

"Emang mau main ke mana?" tanya Rea berusaha kembali ke topik awal pembahasan.

"Yang dekat-dekat ajalah," jawab Ferro.

"Ke pantai aja!" usul Vika dengan berbinar.

"Dih, kagak mau kalo ke pantai! Repot amat," balas Ferro tak setuju yang membuat Vika melotot tajam ke arahnya.

"Ke gunung aja, woy!" Reno, Vika, Rea dan Ferro tersentak kaget saat mendengar suara cempreng dari seseorang yang tiba-tiba memberi usul.

"Ngagetin aja lo, Ras. Kayak setan," ucap Ferro yang membuat Laras cemburut, sedangkan Desma, Reno, Rea dan Vika terkekeh.

"Kalian bahas apa sih?" tanya Desma tak mengerti.

"Kita mau main bareng. Coba kasih usulan lo mau main kemana," ujar Rea yang membuat Desma mengangguk mengerti.

"Gunung aja. Kayak usulnya Laras," ucap Desma.

"Jangan gunung. Repot amat," balas Ferro yang membuat Reno mengerutkan dahi bingung.

"Lo repot-repot mulu. Nggak usah main sekalian, bego!" gumam Reno yang masih di dengar Ferro. Ferro menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Gue pingin main, tapi nggak mau yang ngerepotin diri sendiri," jelas Ferro.

"Ya terus lo mau kemana kalo gitu bambank?" tanya Rea greget bukan main.

"Kalo usul gue sih, ke Mall aja. Nggak repot dan praktis," jawab Ferro dengan cengiran kudanya. Reno ingin sekali menempeleng Ferro detik ini juga.

Rea, Vika, Laras dan Desma memutar kedua matanya kompak secara bergantian setelah mendengar jawaban Ferro.

"Bodoamat, anjay," sinis Laras melirik tajam ka arah Ferro.

"Santai dong. Kalo ke Mall, gue traktir deh makannya. Gimana?" tanya Ferro sambil menaik turunkan alisnya.

"Kalo gitu gue mau lah skuy!" jawab Laras berbinar dan diikuti anggukan oleh yang lainnya.

"Oke, siap!" jawab mereka serempak.

"Giliran gratis aja mau. Dasar kutil badak semuanya," gumam Ferro yang masih di dengar mereka dan membuat mereka semua tertawa secara bersamaan.

Dari kejauhan, seorang perempuan meremas rok seragam abu-abunya kesal. Ia berhenti sejenak setelah keluar dari kamar mandi dan tak sengaja melihat pemandangan yang membuat ia sedikit tak menyukainya.

"Gue benci liat lo bahagia sama mereka tanpa gue!" gumam perempuan itu dengan wajah marah dan napas sedikit tersenggal. Ia berbalik arah dan berjalan kembali ke kelasnya dengan kaki yang dientakkan untuk melampiaskan kemarahannya saat ini.

-----------------------
TBC

REANA [SELESAI]Where stories live. Discover now