Empat Puluh Satu

7.9K 257 0
                                    

Saat ini Rea duduk termenung di dalam kamarnya. Berputar jelas di otaknya tentang kenangan masa kecil bersama Mamanya. Sekarang gadis itu hanya bisa melamun dan memikirkan hal-hal menyenangkan yang pernah ia lakukan bersama Mamanya.

Di bawah, sudah banyak orang berkumpul untuk acara berdoa bersama yang sudah menjadi agenda pada malam ini.

Pintu kamar Rea sudah di ketuk beberapa kali. Namun sang empu yang di panggil tak kunjung membuka pintu.

Hingga akhirnya pintu terbuka secara perlahan, menampakkan wanita berkerudung dengan aura ke-ibuan yang begitu kentara.

Rose membuka pintu, melihat Rea duduk termenung di atas kasurnya. Mendekati gadis cantik yang sudah ia anggap seperti putri sendiri.

"Rea, jangan melamun," ucap Rose lembut sambil menggenggam tangan Rea. Rea sedikit tersentak dan menolehkan kepalanya menghadap ke arah Rose.

"Bunda? Kapan datang?" tanya Rea terlihat sedikit linglung.

Rose terkekeh dan tersenyum lembut. "Baru aja kok. Rea nggak mau ikut ke bawah doain Mama?"

Rea menunduk dan menggeleng pelan. Menolak ajakan Rose untuk ikut bergabung turun kebawah bersama tamu-tamu lainnya.

"Kenapa nggak mau turun?" tanya Rose berusaha bertanya.

"Rea mau di sini aja. Sepi, nggak ada yang ganggu," jawab Rea dengan terisak pelan.

"Rea harus doain Mama dong. Ayo sekarang turun. Biar Mamanya Rea juga senang," jelas Rose yang membuat hati Rea luluh seketika.

Rea mendongak menatap Rose dengan tatapan sendu. Rose mengangguk menenangkan dan di balas anggukan oleh Rea pertanda menyetujui ajakan Rose.

Mereka turun ke bawah dan duduk bersebelahan untuk bergabung bersama tamu-tamu lainnya.

Rea menatap sekitar, tak sengaja netranya bertubrukan dengan tatapan lembut Reno. Reno tersenyum dan dibalas senyum tipis oleh Rea.

Hingga beberapa menit kemudian acara sudah di mulai. Berdoa dengan khusyuk, memanjatkan doa paling tulus.

***

Saat ini Reno duduk di teras rumah milik Rea. Acara sudah selesai dari beberapa menit yang lalu. Sedangkan Rose masih berada di dalam berbincang santai dengan Papa Rea.

Reno duduk dengan Rea yang berada di sebelahnya. Menatap wajah Rea dari samping. Tak dapat dipungkiri, wajah Rea terlihat selalu cantik di mata Reno. Apapun kelakuan gadis itu, selalu terlihat anggun di hadapan Reno.

"Nggak usah liatin gue gitu banget, ntar lo naksir," celetuk Rea yang membuat Reno sedikit gugup, namun ia berhasil menetralisir raut wajahnya.

"Idih, siapa yang liatin lo? Pede amat," jawab Reno sedikit gugup.

Rea menoleh sekilas menatap Reno. "Liatin Aletta aja sana. Jangan gue."

Reno mengerutkan dahi dan menaikkan salah satu alisnya dengan senyum jahil yang mulai terlihat.

"Kenapa? Lo cemburu, ya?" pancing Reno yang membuat Rea mendengus kesal dan melirik sinis.

"Nggak guna banget gue cemburu," jawab Rea sedikit ragu.

"Kenapa gugup gitu? Santai aja kali ngobrol sama gue," usil Reno dengan senyum jahilnya.

"Ih, nyebelin banget sih," gumam Rea yang masih di dengar jelas oleh Reno yang berada di sebelahnya.

"Gue suka liat lo gini," ucap Reno.

Rea mengerutkan dahi pertanda bingung dengan kalimat Reno.

"Maksud lo?"

"Gue suka liat raut wajah lo yang kayak gini. Gemes, pingin gue karungin." Rea menahan senyum dengan semburat merah di kedua pipinya. Untung saja cahaya lampu sedikit remang, jadi Reno tak melihat pipi kemerahan Rea sekarang.

"Lebay lo. Sok gombal," balas Rea sedikit terkekeh.

"Nah gini dong senyum. Gue nggak suka liat lo nangis," ujar Reno menegaskan dengan tatapan mengunci. Rea membalas tatapan dan hanyut selama beberapa detik dalam tatapan kunci yang di berikan Reno kepadanya.

Rea merasakan jantungnya berdebar kencang dan badannya merasakan hawa panas dingin dari ujung kepala hingga kaki. Tunggu, ini terlihat terlalu hiperbola.

"Hm," balas Rea singkat. Reno terkekeh dan tanpa di duga, lelaki itu menjulurkan tangannya ke atas kepala Rea dan mengusap lembut rambut Rea.

Rea sedikit tersentak kaget dan merasa jantungnya sedang mengukuti lomba lari. Jika Rea sedang sendirian, mungkin ia akan nangis terharu dan berguling-guling. Ia merasa gugup setengah mampus.

"Ih, awas. Tangan lo kotor," cetus Rea berusaha menutupi kegugupannya.

Reno tertawa dan mulai menunjukkan senyum jahilnya lagi.

"Santai dong. Itu pipinya nggak usah merah gitu." Rea langsung menoleh ke arah Reno dan melotot tajam.

"Diem lo!" Reno mengendikkan bahu acuh dengan kekehan yang masih tersisa.

Reno berdiri dari duduknya, sedangkan Rea hanya menatap, masih menunggu apa yang akan Reno lakukan selanjutnya.

"Gue pergi dulu. Tuh liat, pacar lo dateng, kan?" ucap Reno sambil menunjuk ke arah gerbang yang di sana berdiri seorang Allan yang mulai berjalan menuju ke arahnya.

Rea sedikit kaget saat mendengar ucapan Reno yang seolah mengatakan bahwa Allan adalah pacarnya. Sungguh, itu tidak benar.

Belum sempat Rea ingin memanggil Reno, lelaki itu justru sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah yang mungkin saja akan menyusul Rose yang berada di dalam.

"Hai, Rea. Maaf baru bisa dateng," sapa Allan ramah dengan senyuman yang mungkin saja bisa memikat hati para perempuan. Tentu saja tidak bagi Rea.

"Hai, Kak Allan. Nggak apa-apa kok," balas Rea dengan senyum tipis.

"Jadi nggak bisa romantisan lagi sama Reno gara-gara Kak Allan deh," batin Rea dengan memutar kedua matanya malas.

------------------
Next chapter?

REANA [SELESAI]Where stories live. Discover now