Tiga Puluh Enam

7.1K 266 9
                                    

Saat ini Rea duduk di samping brankar tempat Mamanya berbaring. Rea merasakan rindu yang begitu dalam. Rindu akan pelukan Mamanya dan semua nasehat yang diberikan oleh Mama.

"Mama, kapan bangun? Rea kangen," ucap Rea pelan dengan tangan yang menggenggam erat salah satu tangan Mamanya. Kepalanya ia letakkan di atas tangan yang menggeggam.

"Rea," panggil suara serak seseorang yang saat ini Rea rindukan. Nyaris tak terdengar suara yang ditimbulkan dari Mamanya.

Rea mengangkat kepala untuk menatap Mamanya yang saat ini memandangnya dengan tatapan yang juga menyiratkan kerinduan.

Rea sigap mengambil air putih di atas nakas dan menuntun Mamanya agar duduk bersandar, kemudian menyodorkan air putih kepada Mamanya.

Setelah meminum air putih, setetes air mata meluncur begitu saja dari kedua mata wanita yang telah melahirkannya.

"Mama kenapa nangis?" tanya Rea dengan nada khawatir sembari kedua ibu jari mengusap air mata yang meluncur di kedua pipi Mamanya.

"Maafin Mama sayang. Mama nggak bilang kamu, Kakak sama Papa tentang penyakit Mama. Mama nggak mau meropotkan kalian," balas Sarah dengan suara yang masih terdengar lemah dan tersendat.

"Udah, Ma. Sekarang Mama jangan banyak bicara dulu ya. Rea nggak mau Mama kenapa-kenapa," ujar Rea halus sambil mengusap pelan lengan Mamanya.

Sarah tersenyum tulus menatap wajah cantik putrinya. Rea sangat mirip dengannya. Sarah seperti menatap dirinya saat muda.

"Rea sudah makan belum?" tanya Sarah dengan nada lembut yang membuat Rea meneteskan air matanya seketika. "Sayang? Kenapa nangis?"

Rea hanya menggelengkan kepala. "Kangen sama Mama."

"Ini Mama udah bangun. Mama sehat kok bisa jagain Rea lagi. Mama kangen nyiapin bekal sekolah Rea," ucap Sarah tersenyum lembut. Rea terisak sambil menatap rambut Mamanya yang tersisa sedikit.

"Rambut Mama habis. Hiks ... hiks ...," gumam Rea terisak pelan.

Sarah berusaha tersenyum walaupun air matanya turun satu persatu. Putrinya benar-benar terlihat sangat sedih dan Sarah tak menyukai situasi ini.

"Udah sayang. Jangan nangis. Mama pasti sembuh kok," ucap Sarah menenangkan sembari menarik Rea masuk ke dalam pelukan hangatnya.

"Mama, sebentar lagi Rea ada study tour. Rea mau nemenin Mama aja ya."

"Kenapa? Itu kan tugas sekolah. Rea harus ikut dong, Nak." Rea menggeleng pelan di dalam pelukan Mamanya.

"Rea mau jagain Mama di sini aja." Sarah melepaskan pelukan dan menangkup kedua pipi Rea. Menatap intens penuh ketegasan pada kedua mata anaknya.

"Rea, dengerin Mama. Rea harus kuat. Rea lihat sendiri kan Mama sehat kayak gini? Apapun yang ada dihadapan Rea, harus Rea jalani. Jangan menyerah dengan suatu keadaan. Selama kita bisa, kenapa tidak dilakukan. Tugas kamu belajar. Mama mau anak Mama sukses semua. Rea jangan pernah lepas tanggung jawab sebagai seorang siswi. Jangan berhenti bersyukur dan tetap semangat."

Rea mengangguk mengerti memahami nasehat dari Mamanya.

"Iya, Ma. Rea paham," jawab Rea pelan.

Sarah tersenyum lega, "jadi kamu harus tetap ikut study tour ya sayang."

"Iya, Ma." Sarah mengacungkan jari jempol pertanda setuju dengan keputusan anaknya.

"Kapan acara nya?"

"Satu minggu lagi, Ma," jawab Rea yang membuat Sarah mengangguk.

"Assalamu'alaikum!" ucap Reyhan saat memasuki pintu ruangan.

"Wa'alaikumussalam," jawab Rea dan Sarah serentak.

"Mama, udah lebih sehat kan?" tanya Reyhan sambil mendekati nakas dan meletakkan plastik yang berisi nasi bungkus di dalamnya.

"Alhamdulillah seperti yang kamu lihat," balas Sarah tersenyum.

"Oh iya, Reyhan bawa makanan buat Rea. Di makan ya dek," tegas Reyhan kepada Rea. Rea mengerucutkan bibir, namun tak urung kepalanya mengangguk menyetujui.

Reyhan tertawa gemas diikuti Sarah yang menatap Rea sedang mengambil nasi dari dalam plastik dan duduk di sofa yang sudah di sediakan. Mulai melahap makanan dengan pelan namun tampak seperti orang kelaparan.

"Papa dimana, Rey?"

Reyhan menatap Mamanya yang bertanya keberadaan Papanya saat ini.

"Papa masih di kantor, Ma. Nanti ke sini kok." Sarah mengangguk dan kembali menatap putrinya yang sedang lahap memakan makanan.

"Reyhan, tolong jaga adekmu di keadaan apapun. Kalian harus selalu rukun ya." Reyhan menatap Mamanya dengan kerutan di dahi. Namun tak bisa membantah, Reyhan tetap menganggukkan kepala mengerti.

"Iya, Ma. InsyaAllah," balas Reyhan.

Sarah tersenyum lega, kemudian ketiga nya mulai bercerita panjang lebar hingga Edward datang. Membuat suasana kekeluargaan begitu terasa saat membicarakan bermacam-macam pengalaman yang mereka dapatkan di kesehariannya masing-masing.

--------------
Sad ngetik part ini huhu.

REANA [SELESAI]Where stories live. Discover now