Benar saja, semua orang dalam ruangan itu langsung terperanjat melihat layar monitor saat menyadari ada sebuah pembengkakan di tepi saluran utama arteri jantung pasien itu.

Mereka sama sekali tidak menyadarinya.

"Ini Aneurisma aorta*. Pemotongan gegabah hanya akan membuat pasien mengalami penyumbatan aliran darah dan kehilangan oksigen, sekalipun pembuluh balik Vena sudah dimasukan ke mesin heart-lung*." sentak Hera, dia menatap Stephen gelisah.

"Kita harus melakukan pemotongan dan menggantinya dengan tabung sintetis sebelum transplantasi dilakukan."

Perawat di sebelah Stephen tiba-tiba menyela, "Tapi dokter Hera, anda tidak bisa melakukan itu sekarang. Terlalu beresiko, kita tidak memiliki waktu."

Hera mendelik, "Lalu? Kalian mau langsung melakukan transplantasi? Itu hanya akan meningkatkan resiko penumpukan cairan pada saluran arteri dan kegagalan jantung!"

Ruangan itu menjadi hening, perkataan Hera tentu saja benar tapi mereka kehabisan waktu atau pilihan untuk itu.

Jantung pasien sudah mengalami kecacatan, menunda transplantasi akan menyebabkan kerusakan yang semakin parah.

Stephen menghela, dia menatap Hera jenuh.

"Hera, kau tidak mengerti—"

"KAU YANG TIDAK MENGERTI!"

Hera menyentak.

"Dengar, aku tahu waktu kita untuk transplantasi sangat terbatas, tapi kesiapan saluran Aorta pasien jauh lebih penting sekarang." Kesalnya.

"Kita harus mengurus pembengkakannya terlebih dahulu kemudian melakukan transplantasi, itu perintahku sebagai dokter bedah kardiotoraks tim ini."

Tidak satu orang pun yang menyanggahnya, hanya saja ruangan itu terasa seperti sama sekali tidak menyetujui perkataannya.

Hera menggeram, kepalanya nyaris meledak karena kekeras kepalaan semua orang disini.

Dia menunduk mencoba untuk berpikir jernih, padahal demi Tuhan, dia sama sekali tidak bisa.

Orang-orang sialan!, umpatnya dalam hati.

Dia menggigit dalam pipinya, lalu mendongak untuk menatap Stephen lagi, kali ini dia benar-benar putus asa.

"Stephen, kau tau aku tidak mengambil gelarku dari tempat sampah kan? Please trust me!" pinta Hera.

Tapi lagi-lagi ruangan itu senyap, mereka sama sekali tidak terlihat mengindahkan perkataan Hera.

Hera menggeram, akhirnya kehabisan kesabaran.

"Brengsek! Jika kalian tidak mau, aku saja yang akan melakukannya!" Cercanya.

Dia dengan cepat mengambil pisau dari nampan instrument, nyaris saja akan melakukan insisi saat tiba-tiba tangannya tertahan.

"Tiran!"

Hera menoleh pada orang yang baru saja mencegatnya.

at: 12amWhere stories live. Discover now