Astaga Tuhan..

Regi kembali bergerak maju,

tanpa repot langsung melangkahi pilot yang sebentar lagi akan sekarat itu dan masuk kedalam kokpit.

Mulutku terasa mengering ketika mendengar suara teriakan ancaman dan sudah bersiap saja menunggu kembali suara letusan senjata.

Namun suara itu tak kunjung datang. Malah Regi kembali keluar dengan menyeret seorang pilot pria muda berambut keriting pendek ke dekat kursi tempel yang diduduki Prajurit Andra sebelumnya.

"Astaga Denis!"
Desis Regi ketika menghempaskan pilot muda itu kelantai.
"Kupikir kau di pihak--"

Ia tak menyambung ucapannya, menggeleng dengan getir.

Dan mendadak menarik pengaman pistolnya, kembali akan menembak.

Seakan terasa tersetrum, sontak aku pun berdiri menerjang ketengah mereka berdua.

"Kau sudah gila?!"
Amukku menonjok kencang bahu kakakku hingga ia mundur selangkah.
"Stop membunuh o--"

"Dia bukan dipihak kita Luce!"
Pelototnya dan kembali maju sehingga aku balik menahannya.

"Reg,"
Peringatku cepat.
"Kalau kau bersikap seperti ini, terkesan tuduhan itu memang benar adanya!"

Bahu Regi menegak lurus,

ia terdengar menarik napas beberapa kali.

"Mungkin kau kesal,"
Aku berusaha merasionalkan dirinya.
"Tapi bukan jadi harus terus membunuh orang tak berdosa seperti ini!"

"Tak berdo--"
Ia membelalak kemudian mentertawakanku.

"Aduh..tak berdosa ya Lu, oke baiklah"
Ia menyelipkan pistol kesakunya dan setelah memunguti senjata dua tentara yang sudah tewas itu, ia menggesturkanku untuk mengikutinya ke kokpit.

Aku mengepal-ngepalkan tangan, melangkah meninggalkan Pilot Denis yang masih terduduk dilantai dan dua penumpang lain yang masih syok dan sempat terhenti didepan pintu kokpit dimana pilot tua itu sedang terbatuk-batuk sekarat.

"Langkahi saja dia,"
Cetus Regi didepanku.

Aku menutup mulutku sambil perlahan melangkahi sisi samping kaki sang pilot.

Setelah aku masuk, Regi dengan cepat menarik pintu kokpit dan menutupnya.

"Aku tak percaya kau melakukan semua itu Regi!"
Repetku dengan hampir menangis.
"Kau sudah diluar batas kewajaran!"

Regi tak menggubrisku, ia melangkah masuk lebih kedalam kokpit yang agak gelap, kosong tanpa pengemudi.

Hanya cahaya tombol-tombol dan layar mesin yang menyinari sedikit ruang kendali heli ini.

Hanya cahaya tombol-tombol dan layar mesin yang menyinari sedikit ruang kendali heli ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kau ambil duduk di kursi pengemudi sebelah situ, karena kau akan jadi ko-pilotku"

Hah?..

"Kau..mau aku jadi apa?"
Tanyaku,

semakin yakin kakakku ini telah kehilangan kewarasannya.

Regi yang sudah duduk dikursi pengemudi kanan berdecak, dengan tangan terjulur menarikku sampai terduduk dikursi pengemudi sebelah kiri.

"Kau benar sudah gila!"
Sentakku dengan sekujur tubuh gemetaran hebat.
"Mana bisa--"

"Tenang! aku akan memandumu!"
Potongnya segera setelah dengan setengah berdiri berusaha mengalungkan sabuk pengaman kedua dibahuku.
"Sekarang kau familiarkan dulu secara singkat mesin--"

"Aku tak bisa Reg! Kau masa mau ajak bajak heli ini--"

"Lu, lucy dengar!"
Ia menarik napas kembali menjatuhkan dirinya kekursi, terlihat sangat berusaha menyabarkan diri.

"Coba kau lihat layar biru kedua ditengah kita itu, dibawah tampilan layar radar hijau yang berputar itu.."

Aku dengan cepat melihat ke layar yang dimaksud.

Layar LED biru muda kecil yang menampilkan gambar bentuk dua pulau kecil dan besar seperti pada tampilan peta.

Namun satu pulau kecil yang letaknya jauh dari pulau besar itu, ditandai dengan warna merah tersendiri.

"Heli ini sekarang dalam keadaan auto pilot, dan pulau kecil itu adalah tempat mereka akan membawa kita."
Jelasnya perlahan.

"Dan perlu kau ketahui, tempat itu juga bukan markas militer pusat,

..hanya pulau jauh yang kecil dan kosong tanpa akses,"

Aku menelan ludah.

Ia meneruskan.
"Menurutmu, kira-kira dalam keadaan kekacauan wabah dan 'tertuduh' seperti ini, apakah ada alasan baik bagi mereka membawa kita jauh-jauh kesana?"

Perasaan tak enak pun menjalar dihatiku.

"Mung..kin"
Jawabku penuh harap ketika terpikir tim pertanian Marsia-Farel.
"Mereka mau kita aman--"

"Pulau kosong, lucy"
Tekan Regi kembali.
"Ayolah gunakan intuisimu!"

Aku tak merespon, hanya menghembuskan napas kencang, melempar pandangan kejendela disampingku.

Dan pembantaian yang ia lakukan barusan, telah membuat kepercayaanku padanya menurun drastis.

".. Lagipula, jika mereka membawaku kesana, bagaimana bisa membuktikan diri bahwa aku tak bersalah?"

"Tapi bukan begini juga caranya!"
Aku bersikeras sampai badanku berguncang.
"Walau--"

Aku terhenti, menarik napas.

Menyadari pernyataan Regi memang ada benarnya.

Terkesan ada pihak yang mau mengasingkan..

Dan membuatku jadi teringat kembali akan ucapan Prajurit Andra.

'Ini hanya masalah waktu saja, bukan?'

Serta tatapan Prajurit itu dari sejak awal kulihat..

.

Perlahan aku jadi berbalik memandang Regi.

Ia memiringkan kepalanya sedikit dan menepuk pundakku.

"Kau percaya padaku kan lucy?"

Aku memberinya anggukan.

Ia menghembuskan napas lega dan bergerak mengalungkan tali sabuk pengamannya.

"Ayo pasang headset interkom ditelingamu luce, kita harus segera memutar balik helinya"

Aku jadi mengerenyit.

"Tapi kemana kita kita akan pergi?"

Sudut bibirnya tertarik keatas sedikit.

"Kita akan coba pergi ketempat dimana semua kawanmu itu juga pergi."

RED CITY : ANNIHILATION Where stories live. Discover now