86. livia byun

47.5K 10.4K 6.5K
                                    

Saat Jaemin menyebut nama saudara kembarnya, perlahan aku memberanikan diri berbalik.
Ada dua kejanggalan; pertama, kami sudah membakar habis gelangnya dan kedua, kenapa Jaeyoon buang-buang waktu begini? Dia bisa saja langsung mendorongku ke ambang gedung supaya aku jatuh dari lantai empat dan mati.









"Jaemin," panggilnya sekali lagi sementara yang dipanggil masih membeku.

Aku segera tahu penyebab Jaemin terpaku menatap sosok di belakangku saat sudah sepenuhnya membalik badan. Sulit digambarkanㅡ nafasku tertahan di tenggorokan melihat seseorang yang melangkah dengan kabut aneh di sekitarnya. Cara berjalannya, sorot matanya yang tegas dan lembut di saat yang sama... dia Na Jaeyoon.

Bukan, bukan "Jaeyoon" yang mengincar kami di luar tadi. Yang kumaksud ada Na Jaeyoon sungguhan, Jaeyoon yang kita kenal. Pedih merayapi hatiku melihat baju yang ia kenakan sama persis dengan hari itu. Hari kematiannya.

"Jaeyoon..." ujar Jaemin seakan meyakinkan dirinya sendiri. Sosok Jaeyoon yang dikelilingi kabut sekarang berdiri persis di depannya.

"Wah, adikku sekarang makin tinggi," Jaeyoon tersenyum menatap puncak kepala Jaemin. "Apa kabar, Jaemin?"

Mulut Jaemin masih menganga tak percaya. Tangannya bergerak ke bahu Jaeyoon, terperanjat saat bagian yang ia sentuh terurai menjadi serpihan kecil yang menghilang di udara. Lagi-lagi senyum merekah di bibir Jaeyoon.

"Terima kasih, akhirnya sekarang aku bebas," ucapnya, menatap kami bergantian. "Mungkin tanpa dijelaskan pun kalian tau, selama ini aku yang jadi perantara roh jahat itu untuk tetap bisa tetap menyimpan dendamnya."

Kekagetan di wajah Jaemin perlahan menjadi tatapan sedih.
"Bebas? Jadi maksudnya sekarang..."

"Iya, Jaemin. Waktunya kamu kembali," kata Jaeyoon tenang dengan senyum khasnya.

"Tapiㅡ kamu kenapa bisaㅡ" tanya Jaemin, menatap kembarannya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Bicara? Atau ada di sini?" Jaeyoon menyambar pertanyaan Jaemin yang terputus. "Aku punya waktu sebentar sebelum dijemput. Karena ada beberapa hal yang belum sempat aku bilang ke kalian sebelum mati."

"Jaeyoon..." ujar Jaemin, air matanya mulai menetes dan menghilang tanpa jejak di lantai.

"Jaemin, jangan pernah merasa bersalah atau menganggap aku diperlakukan nggak adil selama hidup. Orang tua kita menyembunyikan aku karena mereka melindungi aku dari orang-orang yang mungkin bisa menyakiti aku karena kekuranganku. Aku merasa dilindungi dan dirawat penuh kasih sayang," kata Jaeyoon panjang lebar.
"Apa yang terjadi, semuanya udah takdir. Jangan disesali lagi, bukan salah siapa-siapa."



Salahku, itu semua karena aku. Karena aku Jaeyoon meninggal...

Seakan bisa mendengar apa yang kuucapkan dalam hati, Jaeyoon menoleh padaku.
"Alice," ucapnya, untuk pertama kalinya aku mendengar Jaeyoon mengucapkan namaku ㅡternyata rasanya sepedih ini? "Kamu juga harus berhenti merasa bersalah karena kejadian tahun lalu. Bukan salahmu, Alice. Nggak ada yang mau semua itu terjadi, tapi ini takdir."

Ingin rasanya aku berteriak mengingat kelebatan bayangan detik-detik kematian Jaeyoon yang masih terekam sangat jelas. Kenapa harus Jaeyoon? Kenapa?

"Nah, waktuku hampir habis," Jaeyoon menerawang langit. "Jaemin, jaga orang tua kita ya? Sekarang cuma kamu yang mereka punya. Jangan kebanyakan minum kopi dan obat tidur, nanti sakit. Oh iya, bilang ke Livia Byun, arwah adiknya udah bebas juga."

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang