28. my vacantness

56.4K 10.7K 3K
                                    

Terlalu banyak yang memenuhi pikiranku malam ini.








Mengingat Mark membuat aku merasa sangat buruk. Selama ini dia selalu tampak baik-baik saja, aku tidak tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya.
Selama ini aku merasa ini hanya sulit untukku, aku tidak berpikir apakah ini juga sulit baginya.

Dia lebih sering ada bersama Jaemin daripada aku. Mungkin semua jauh lebih rumit bagi Mark.

Mark bekerja keras selama ini, apa dia sempat memikirkan dirinya sendiri?

Seandainya aku bisa bertanya pada Jaemin, apakah Mark diperlakukan dengan baik juga oleh orang-orang terdekatnya? Apa dia makan dan istirahat secara manusiawi?

Tapi itu tidak mungkin... itu ide yang sangat gila.












"Udah makan?" tanya Jaemin, menyingkap rambutku dari samping.

Aku bergumam mengiyakan, bohong. Pada dasarnya aku memang jarang lapar. Apalagi sekarang, walaupun Jaemin tidak menyinggung sedikitpun tentang kejadian tadi, tetap saja aku merasa tidak enak.

Jaemin memasangkan sebelah earphone ke telingaku, hanya tersenyum saat aku menatapnya sekilas. Kedengarannya seperti soundtrack anime, aku bahkan baru tau dia suka hal semacam ini. Banyak yang aku tidak tahu tentang Jaemin, yang aku tahu selama ini hanya menyukainya.


"Maaf soal waktu itu," kata Jaemin. "Aku nggak tau rasanya sesakit ituㅡ aku kan nggak pernah jadi cewek."

"Nggak apa-apa. Aku juga terlalu sensitif, maaf," sahutku, masih menunduk.

Jaemin tertawa pelan.
"Hari itu kamu galak, aku salah terus," ujarnya. "Sekarang aku nggak bau kan?"

Dengan sengaja dia mendekat padaku. Tentu saja tidak bau keringat seperti saat selesai showcase tempo hari.
Aku menggeleng dengan senyum tipis.

"Sekarang udah nggak sakit kan?" Jaemin mengusap kepalaku.

"Nggak. Cuma hari pertama kok," jawabku singkat.


Jaemin mengangguk. Dia tidak bicara lagi, hanya sesekali menggumamkan lagu yang sedang kami dengarkan. Sampai bus berhenti di halte terdekat dari rumahku.









"Sepi banget, untung ada aku," ujar Jaemin melihat tidak ada orang lain di jalan setapak gelap dan menanjak menuju rumahku. "Jangan pernah pulang jam segini sendirian ya, bahaya."

Aku hanya mengangguk.

Tidak mood bicara dengan Jaemin, atau lebih tepatnya antara takut dan merasa bersalah. Padahal sedikitpun Jaemin tidak tampak kesal. Tapi bukankah justru itu masalahnya?








Kami sudah sampai. Jaemin menghentikan langkahnya tapi belum melepaskan tanganku di genggamannya.

"Makasih ya," ucapku canggung. "Maaf kamu jadi repot."

"Nggak kok, malah jadi ada alasan buat jalan-jalan malem," ujarnya.

"Hmm... oke... aku... masuk dulu."


Ekspresi Jaemin berubah datar, tanpa mengucap apapun dia melepaskan tanganku.

Aku berbalik, mendorong pintu pagar yang berderit pelan saat dibuka. Saat itulah aku mendengar suara berat Jaemin berbicara memecah kesunyian yang canggung.

"Dari tadi aku nggak tanya, aku tunggu barangkali kamu mau ngomong duluan," ucapnya dengan nada bicara yang tenang, tapi dingin.
"Tapi ternyata enggak, ya?"


Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang