18. poison

61.9K 11.8K 4.7K
                                    

"Alice."










"Oy, Alice."










Tercium aroma kepulan kopi hangat saat aku terbangun karena seseorang menepuk-nepuk pundakku. Sebenarnya aku sudah setengah sadar namaku dipanggil-panggil, tapi berat sekali rasanya membuka mata.


"Ck ck ck," perempuan berkacamata di depanku bergeleng-geleng. "Begadang berapa hari sih?"

"Ah, ya ampun ㅡketiduran," aku menguap  di depan seniorku, Choi Eri.

"Kopi?" tawar Eri, di depannya ada dua cup kopi.

"Thanks," dengan senang hati aku menerima satu cup kopi.


Choi Eri, tujuh tahun lebih tua dariku, adalah 'ekor' lain professor Lee. Sekarang sedang menjalani tahun terakhir strata 3.
Sebenarnya Eri inilah yang sungguhan dekat dengan prof. Lee. Tapi hampir tidak ada yang berani mengusiknya ㅡtipikal perempuan cantik tapi galak dan tatapannya sinis.
Padahal sebenarnya dia baik, yahㅡ setidaknya padaku.


"Cafe latte?" tanyaku setelah mengecap rasa kopi. "Seleranya prof. Lee."

"Ini emang dia yang pesan," Eri meringis. "Tapi harus pergi mendadak barusan. Panggilan dari kepolisian katanya.

"Oh," ujarku. "Lumayan, jadi dapet kopi gratis."

Eri tertawa kecil.
"Kamu nggak pulang?"

"Sebentar lagi," jawabku sambil melirik jam tangan ㅡpukul 5 sore. "Besok ada ujian biopsychology, lebih baik belajar di sini daripada di rumah."

"Hm... Prof. Lee bilang kamu udah setaraf semester enam. Cuma biopsychology sih kecil dong?" kelakar Eri.

Aku terkekeh sambil terus melanjutkan merangkum.
"Sayangnya musuh terbesar manusia selain rasa malas itu kesombongan."

"Heol," sekarang Eri bertepuk tangan. "Kayaknya kapan-kapan boleh nih ketemu orang tua kamu, mau tanya gimana cara mendidiknya."

"Buat persiapan berumah tangga sama prof. Lee?" ledekku. "Ahㅡ maksudnya Jehoon oppa."

Wajahnya bersemu merah mendengar perkataanku. Dia menyikutku pelan.
"Ey, jangan main ngeledek please. Pacar kamu sendiri gimana? Kok sekarang jarang kelihatan?"

"Pacar yang mana?" seingatku aku jarang bersama-sama cowok di sekitar kampus.

"Yang suka bawa payung."

Aku hampir tersedak kopi.
"Ehㅡ bukan. Dia bukanㅡ"

"Hadeh, bukan tapi salah tingkah," Eri menepuk-nepuk punggungku karena aku batuk-batuk. "Ngomong-ngomong dia mirip temennya adikku."

"Oh ya?"

"Dia kerja sambilan jadi pengantar jajangmyeon?"

"Eh? Enggak," agak menggelikan membayangkankan Mark naik motor dengan container jajangmyeon.

"Oh," ujar Eri. "Berarti bukan."

"Aku baru tau eonni punya adik."

"Udah meninggal, tahun lalu," ucap Eri dengan senyum tipis.

"Oh. Sorry," aku menimpali dengan kaku. Aku memang convo-killer.


Choi Eri hanya mengangkat bahu dengan senyum sedihnya. Lalu memandang ke luar jendela sambil menggerutu.

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang