78. switched

40.8K 9.6K 4.7K
                                    

Selama perjalanan menuju apartemenku, kami tidak banyak mengobrol.
Cuaca di luar yang cerah kontras dengan kesuraman di dalam mobil Mark. Aku masih termenung mencerna apa yang baru saja terjadi, Liv juga sepertinya sama.
Paling parah adalah Mark yang tidak tahu apa-apa sama sekali tapi belum berani bertanya.








"Oke, guys, mau sampai kapan kalian bikin aku penasaran?" Mark akhirnya bersuara.

Aku dan Liv bertukar pandang. Kami bingung mau mulai dari mana.

"Gimana kalau mulai dari kenapa Jaemin bisa ada di sana tadi? Bukannya udah aku bilang jangan sampai dia keluar rumah?" tukas Liv gusar.

"Aku ke toilet, waktu keluar Jaemin udah nggak ada. Tapi dia tulis 'krematorium' di sticky notes, makanya langsung aku susul," cerita Mark.
"Bagian depan banyak polisi dan jalannya macet, makanya aku coba ke pintu samping. Ternyata malah ada kalian dan..."

Kalimat Mark menggantung. Dia menatapku dan Liv dari kaca spion.

"Itu tadi kenapa? Jangan bilang Jaemin... kerasukan?" lanjut Mark. "Kalian ngapain sih disana? Kenapa bawa abu Jaeyoon segala?"

Ah, ngomong-ngomong soal abu, aku jadi ingat sesuatu.

"Liv, kamu bawa abunya sampai ke rooftop sendirian?" tanyaku.

"Iya. Aku nggak mau ambil resiko, sorry kamu aku tinggal," dia tampak menyesal.

"Terus udah dibakar ulang?"

"Udah."

Aku menatapnya tajam.
"Terus kenapa Jaemin malah jadi kayak gitu?"

"Seandainya aku tau," desah Liv. "Itu yang ada di kepalaku dari tadi."

"Turun dulu, udah sampai nih," potong Mark. Ia mendahului kami keluar dari mobil.

Liv menyusul, membawa guci. Aku juga akhirnya keluar dan bergabung dengan mereka.

"Aku nggak ngerti," gelengku. "Kalau abunya udah disucikan, harusnya iblisnya pergi kan? Harusnya Jaemin udah bebas sekarang?"

"Alice, sumpah aku juga nggak tau," Liv menggeleng frustasi. "Aku juga kaget liat Jaemin tiba-tiba ada di sana, sekarat, terus berubah jadiㅡ"

Kami bertatapan dengan alis bertaut. Sejauh ini aku selalu percaya pada Livia, tapi apa kepercayaanku rupanya disalahgunakan?

"Aku tanya satu hal; kamu beneran udah mensucikan abu kremasi Jaeyoon? Kamu nggak cuma pura-pura udah menyelesaikan semuanya sendiri, kan?" tanyaku tajam.

Liv berdecih mendengar pertanyaanku.
"Pura-pura? Kalau dari awal nggak percaya, harusnya kita nggak usah buat rencana ini," dia menyodorkan guci ke tanganku.
"Kamu aneh, Alice."

Nada bicara Liv seperti tersinggung. Setelah menyerahkan guci dia berbalik dan melangkah meninggalkan kami.
Mark menatapku tak percaya. Ia menggeleng lalu menyusul Liv yang berjalan dengan langkah panjang-panjang.

Hangat.

Telapak tanganku merasakan bagian luar guci yang hangat. Aku tertegun menatap guci, pasti guci ini hangat karena berisi abu yang baru dibakar ulang.
Astaga, barusan aku bicara apa pada Liv? Aku tidak bermaksud menuduhnya, aku... hanya ingin memastikan.

Sebelum Liv makin jauh, aku berlari menyusul mereka ke arah Mark menghilang tadi. Ohㅡ untung mereka masih ada, berdiri di dekat pos satpam.
Liv tampak protes pada Mark yang mengangkat pergelangan tangannya. Sesaat aku melihat telapak tangan Liv yang melepuh kemerahan.

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang