64. another missing pieces

48.1K 10K 5.4K
                                    

Karena membawa Jaemin ke tempat-tempat rawan ternyata adalah ide buruk, jadi aku tidak berani ambil resiko lagi. Selain itu, aku curiga kalau keberadaanku juga menjadi salah satu pemicu dia diambil alih.
Sekarang aku tahu kenapa Jaemin memilih menjauh, memang itu lebih aman ㅡwalaupun tidak menjamin keadaan akan terus baik-baik saja.


Hari ini Mark bilang dia mau ke rumah Livia untuk membersihkan kekacauan yang dia buat tempo hari dan menanam bunga. Mark pasti tahu kode kunci rumahnya saat mengantar Liv pulang dulu.
Aku tidak diajak, tapi memutuskan untuk menyusul setelah selesai satu kelas mata kuliah.


Kupikir sebelumnya mungkin berbahaya juga kalau aku dekat-dekat Mark?
Tapi dia menanam bunga di rumah Liv, jadi kukira kami aman. Lagipula ada yang ingin kudiskusikan dengan Mark ㅡpenting.
Jadi di sinilah aku, mengetuk pintu apartemen Livia tanpa mengabari Mark sebelumnya.








"Nihao~" aku memberi salam saat Mark membuka pintu dengan ekspresi kagetnya. Tapi malah aku yang tak kalah kaget.

"Alice?" Mark membetulkan kacamatanya.

"Lagi ngapain sih? Nggak pake baju," aku menutup mata dengan tangan.

"Sebentar," aku mendengar Mark berlari masuk. "Lagi ngepel, gerah banget."


Aku menutup pintu, lalu menyusul Mark. Pintu balkon terbuka lebar, tapi memang cukup gerah di dalam sini. Ember berisi air tergeletak di dekat noda darah yang sudah mengering di lantai. Aku terkesiap ㅡtidak bisa kubayangkan melihat manusia terkapar di atasnya beberapa hari yang lalu...


"A- anuㅡ ada yang bisa kubantu?" tanyaku.

"Bantuin ngepel," jawab Mark, sudah memakai kaosnya. "Susah nih udah kering."

"Oke."


Aku menaruh tas di meja lalu mencari lap di kamar mandi. Rumah Livia berantakan, pantas saja Mark merasa bertanggung jawab. Ini lebih berantakan daripada rumahku ㅡyang sudah kubereskan sendiri.
Saat sudah menemukan lap, aku bergabung mengelap lantai bersama Mark.




"Aku agak nggak tenang. Sejak hari itu aku takut kalau deket-deket kamu atau Liv," kata Mark. "Makanya aku nggak ajak kamu."

"Asternya udah selesai ditanam, kan? Semoga nggak apa-apa," timpalku.

"Katanya kamu pergi sama Jaemin?"

"Ya. And it was the worst idea ever. Jaemin kesakitan kalau dipaksa."

"Emang kalian ngapain?"

"Memancing ingatan Jaemin tentang Diabolos dan krematorium. Kita butuh petunjuk dia ngapain di dua tempat itu."

"And then?"

"Dia cuma inget pernah ke Diabolos lebih dari sekali dan pulang pergi bawa sesuatu. Itu pun dia udah kesakitan banget, aku nggak sanggup liatnya," keluhku.

"Emang sakit. Saking sakitnya, nggak bisa aku jelasin."

"Waktu itu tapi kamu sempet sadar sebentar, kenapa?" aku mendadak penasaran.

"Waktu di tempat Liv juga, tapi kirain aku cuma mimpi. Rasanya aku dipanggil dari jauh, suara kalian. Tapi susah mau bergerak, sakit," Mark bercerita sambil mengernyit, seperti engan mengingat.

"Jadi gitu cara kerjanya..." aku mengangguk-angguk.

"Yup," jawab Mark singkat. "Tapi aku nggak sadar kapan mulai dikendalikan. Sorry, can we just stop?"

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang