16. his vacantness

73.3K 12.5K 5.9K
                                    

Setelah movie day dadakan itu aku sudah sekitar empat kali menjelajahi berbagai perpustakaan ㅡsendirian. Entah aku harus senang atau kecewa karena Mark sibuk dan harus ke Ukraina, itu saja setahuku dan setelahnya aku tidak pernah bertanya lagi. Bukan karena tidak peduli, tapi karena tidak mau mengganggu dan... aku tidak mau semakin bingung dengan 'sesuatu' diantara kami.
Itu bukan hal yang bagus, kan?


Dia sudah kembali, kemarin katanya.
Dan sekarang aku sedang asyik membaca di perpustakaan balai kota saat Mark bertanya keberadaanku. Aku tidak meminta dia datang, dia juga tidak bilang mau menyusul.
Satu jam lebih sudah berlalu dan aku masih membolak-balik buku tentang sekte satanis Eropa yang saking tebalnya bisa untuk memukul Jisung sampai pingsan ㅡLOL.


Kukira darah rendahku kambuh saat tiba-tiba pandanganku gelap, tapi sedetik kemudian aku sadar ㅡseseorang menutup mataku dengan tangannya.


"Why so childish, Magu," tanpa melihat pun aku tahu itu Magu si kimchi jjigae.

"Langsung kenal banget?" katanya. "Nggak seru."

"Satu-satunya orang yang tau aku lagi disini kan cuma kamu," aku menyingkirkan tangannya lalu menoleh ke atas. Dalam hati diam-diam mengumpat karena menguar perasaan senang melihat dia datang.
"Hi, foreign swagger."

Mark meringis cringe mendengar 'foreign swagger', lalu duduk seberangku.
"Hi, Belle," ujarnya dengan suara menirukan Beast. "How're things going?"

"Basic," jawabku dengan helaan nafas lelah. "Buku-bukunya kebanyakan udah terlalu modern, aku butuh yang lebih tua."

"Oh, biar lebih matang dan dewasa ya?"

"Kamu masih jetlag?" aku terkekeh pelan.


Mark menumpukan lengannya yang terlipat ke atas meja. Ia menatapku lurus.

"Kenapa? What's wrong?" tanyanya serius.

Aku menghindar dari tatapannya. Memangnya aku terlihat sekusut itu ya sampai dia tahu ada yang tidak beres?



"Aku bingung, takut. Aku kira semuanya udah selesai tahun lalu, tapi tiba-tiba sekarang keadaan berubah. Muncul kemungkinan-kemungkinan mengerikan yang aku bingung harus percaya atau enggak."

Akhirnya aku menjawab apa adanya ㅡmeluapkan segala kegelisahan yang sudah kupendam berhari-hari. Sedikit lega, setidaknya ada seseorang yang tahu keadaan di kepalaku sebenarnya.
Walaupun Mark sepertinya tidak tahu juga mau menanggapi apa.


"Aku cuma mau semua orang hidup normal. Sekarang penglihatan arwah aku udah nggak ada, bahkan gelap sedikit aja aku kesulitan buat liat normal," ujarku kalut. "Kalau sampai ada apa-apa lagi, aku udah nggak bisa bantu siapa-siapa."

Ekor kalimatku bergaung di perpustakaan yang sepi. Samar-samar terdengar bunyi air hujan menabrak jendela di luar sana. Membuat keadaan terasa semakin suram.


"Hey," Mark meraih pergelangan tanganku. "Jangan terlalu paranoid dulu."

"Gimana enggak?" desahku. "Jaemin nggak tau apa-apa, padahal dia mungkin sekarang terancam bahaya."

"Jangan paranoid dulu," ulang Mark. "Setiap ketemu Jaemin, dia keliatan baik-baik aja kok. Sekali-kali khawatir sama diri sendiri dulu dong."


Tanpa mendebat Mark, aku bertanya dalam hati ㅡkapan terakhir aku khawatir pada diri sendiri?
Bahkan saat sekarang kami sudah saling menjadi orang asing, hidupku masih berputar-putar di Jaemin Jaemin dan Jaemin.

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang