72. faster?

43.7K 9.4K 3.5K
                                    

"Alice, bukannya nggak boleh, tapi rumah sakit yang dimaksud itu internal SM bukan rumah sakit umum," kata Mark. "Kamu nggak bisa masuk, percuma."

Aku masih tidak sanggup berkata-kata. Di sebelahku Liv menatap Mark tajam dengan dahi berkerut.
"Bukan cuma karanganmu kan?"

"Seriously? Apa untungnya aku bohong? Nihㅡ telepon lagi Renjun kalau kalian nggak percaya," Mark kesal, menyodorkan ponselnya.

"Sorry. Just in case," timpal Liv.

"Udah, jangan berdebat," aku menengahi dengan senyum dipaksakan. "Ya udah, kamu pergi Mark. Pasti udah ditunggu."


Mark tidak langsung pergi. Raut wajahnya terlihat dilema. Matanya bergantian menatapku dan Liv yang berdiri bersebelahan. Dia membuang nafas, lalu meraih pergelangan tanganku.

"Ayo, kamu ikut dulu. Bisa masuk atau nggak, biar kita pikir di sana nanti," ujarnya.

"Markㅡ jangan nekat. Kalau aku dikira penyusup gimana?" tolakku, melawan keinginan untuk ikut dengan Mark.

As expected, Mark tidak punya rencana. Tapi ia bersikeras.
"Itu urusan nanti, yang penting kamu ada di sana dulu."

"Tapiㅡ"

"Alice, aku tanya; kamu mau ikut nggak?" tanya Mark lugas.


Bibirku terbuka tanpa langsung memberikan jawaban. Aku bingung. Tentu saja aku ingin ikut, ingin tahu keadaannya.
Tapi, aku siapa?

Aku bukan siapa-siapa, that's the sad fact.



"Ikut aja, Alice. Siapa tau kamu bisa masuk," ujar Liv, menumpukan tangan di pundakku.

Aku menoleh untuk menatapnya, dia mengangguk pelan. Lalu pada Mark yang sudah menunggu jawabanku ㅡia tampak gelisah.

"Oke, aku ikut," ucapku akhirnya.

"Nah, bagus. Ayo, kita langsung kesana," timpal Mark.

Ia berbalik setelah mengisyaratkan supaya kami mengikutinya. Baru beberapa langkah kami menjauh dari pintu apartemenku, aku merasakan Liv tidak mengikuti kami. Dia masih berdiri di depan pintu saat aku menoleh ke belakang.

"Liv, kamu ikut kan?" tanyaku. Di depanku Mark ikut berhenti.

Dia tersenyum tipis dan menggeleng, sorot matanya sulit diartikan.
"Nggak, kalian aja yang pergi," ucapnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku nggak ada kepentingan di sana," dia mengangkat bahu. "Boleh kan aku tunggu di sini?"


Agak aneh rasanya kalau Liv tidak ikut, tapi mau bagaimana lagi kalau dia tidak mau?
Akhirnya aku mengangguk setuju.

"Oke. Kamu boleh tunggu di sini kalau mau," ujarku.

"Yep. Good luck," Liv tersenyum, melambai kaku.

"Alice, ayo," panggil Mark.

Aku membalikkan langkah lalu kami melanjutkan berjalan bersebelahan ke lift. Perasaanku tidak enak, aku bingung harus bagaimana. Harusnya aku melanjutkan memeriksa CCTV dengan Liv karena makin cepat kami tahu apa yang Jaemin bawa ke Diabolos, lebih baik. Tapi tiba-tiba Jaemin sakit? Jangan bilang dia sudah semakin melemah...





"Alice? Alice, oy."

"Ya? Hahㅡ apa?" aku tersentak, telapak tangan Mark dilambaikan di depan mukaku.

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang