14. speculation

66.4K 12.4K 2.2K
                                    

[Multimedia nggak nyambung sama isi cerita sih, tapi banyak yg penasaran ringtone legend-nya alice, itu lily allen - fuck you.
Play aja videonya, cuma audio kok nggak boros kuota 😂]









"Kamu agak nggak sehat ya?" tanya Livia.

Aku mengangguk.
"Flu," jawabku. "Dan efek suntik tetanus beberapa hari yang lalu."

Dia tertawa.
"Kayaknya kamu bersahabat banget ya sama rumah sakit, no offense."

Aku balas terkekeh.
"Yeah, shits happen."


Hari ini aku baru saja selesai dari sesi mingguan dengan psychiatrist-ku, dokter Nam. Kebetulan sekali ternyata Livia juga berurusan dengan poliklinik jiwa, jadi setelah urusan rumah sakit selesai kami mampir ke Coffee Bay.
Aku sudah selesai dengan kuliah sejak tadi siang, tanpa jadwal tambahan sebagai asisten dosen. Sedangkan Livia, entahlah ㅡkukira lahir di keluarga sekaya dia pasti punya banyak waktu luang tanpa kerja keras.


"Kamu masih harus datang minggu depan?" tanyaku pada Livia.

"Yeah," dia menghela nafas. "Dan mungkin minggu depannya lagi, dan minggu depannya lagi. Nggak tau sampai kapan."

Aku terdiam sejenak, ragu untuk mengungkitnya.
"Ini masih soal... Lucifer?"

Livia mengangguk dengan senyum hambar.
"Kadang aku masih ragu sendiri apa selama ini ternyata aku gila? Apa selama ini dia nyata atau cuma delusi?"

"Dia nyata, aku saksinya," ujarku getir sambil mengingat kejadian itu.

"But it was so ridiculous, strange," dia menggeleng. "Sulit dipercaya, kan?"

Tentu saja. Di jaman modern begini mana ada manusia di Seoul yang percaya tentang iblis atau arwah yang berkeliaran mencari tubuhnya?

Aku tahu persis rasanya meragukan kewarasan diri sendiri. Karena sampai saat ini aku juga sulit mempercayai kalau dulu Jaemin memang pernah ada. Jaemin yang terpisah dari raganya karena ulah Livia dan adiknya.

"Sampai sekarang Jaemin belum tau tentang yang sebenarnya terjadi?" tanya Livia.

"Kayaknya sih belum," ucapku, mengingat Jaemin yang bilang dia tidak ingat apapun.

"Jadi dia dibohongi semua orang?"

"Lebih ke ditutup-tutupi. Dia taunya selama ini koma karena sakit, dan Na Jaeyoon," menyebut nama itu terasa menyakitkan.
"Semua orang kira itu kecelakaan, karena insiden Byun Daesik. Wellㅡ siapa yang mau percaya kalau aku atau kamu bilang yang sebenarnya?"

Livia menunduk di atas cangkir kopinya. Entah kenapa aku melihatnya begitu rapuh, padahal penampilannya dengan pakaian mahal, pierching, dan sorot matanya yang tajam membuatnya tampak angkuh.

"Sorry, harusnya dari awal aku nggak memulai semua ini," ujarnya penuh sesal. "Demi Tuhan, pikiranku waktu itu rasanya ditutupi sesuatu. Pengaruh jahat..."

"Let bygones be bygones," aku mengutip kalimat Mark tempo hari. "By the way, aku mau memastikan sesuatu ㅡkamu yakin sesuatu itu ada di sekitar Jaemin?"

Livia langsung mengerti. Raut wajahnya berubah menjadi ketakutan.
"Aku harap aku cuma paranoid," dia menggeleng. "Tapi percaya atau enggak, aku bisa merasakan aura kejahatannya. Dendam, nafsu, kelicikan..."

Aku merinding mendengarnya. Melihat cara Livia berbicara, sepertinya mustahil ia berbohong.
"Tapi bukan di diri Jaemin?"

"Bukan. Di sekitar Jaemin, dekat banget," ujar Livia. "Ya ampun, seandainya kamu masih bisa liat."

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang