81. the other connector

43.6K 9.6K 3.2K
                                    

Sekarang aku ingat.
Sebelumnya aku terlalu shock. Saking tidak sanggupnya, sepertinya aku langsung pingsan begitu melihat Jaemin berbicara padaku untuk pertama kalinya dalam wujud roh.

Sekarang, saat kesadaranku mulai kembali, sulit dijelaskan apakah aku ingin semua ini nyata atau hanya mimpi.

Sekali lagi aku bertanya-tanya;
Jaemin benar-benar sudah meninggal?



Air mataku langsung berhamburan seiring isakan kutahan dengan telapak tangan. Keadaan ini bagaikan deja vu yang menyakitkan. Jaemin masih diam, sementara Liv makin panik mengguncang pundakku.

"Aliceㅡ kenapa? Jaemin yang mana maksudnya?" tanyanya. "Jangan bilang kamuㅡ"


Tangan Jaemin bergerak ke pipiku yang basah, tapi jarinya tidak bisa menyentuhku. Dia hanya memperkuat fakta kalau kami ada di dimensi yang berbeda.


Liv mencengkeram pundakku, memaksaku menatapnya.
"Yang kamu maksud arwah Na Jaemin?" tanyanya. "Kamu bisa liat hantu lagi?"


Aku menjawab kecemasan Liv dengan anggukan lemah. Seketika lengannya di pundakku terkulai lemah. Perlahan dia meraih tanganku, meneliti telapaknya.

"Titik-titik ini... bekas sisir," gumamnya. "Apa akhirnya kamu buat perjanjian lagi dan ambil penawaran itu?"

"Nggak, Liv," gelengku, mengingat mimpi barusan. "Mark datang sebelum aku berhasil bikin perjanjian apapun."

Helaan nafas lega keluar dari mulut Liv. Dia bersandar lunglai pada jok.
"Ya ampun, untung aja."

"Maaf," ucapku, sangat merasa bersalah. "Aku bingung harus gimana. Cuma itu satu-satunya cara yang terlintas tadi."

"Kukira Mark bercanda. Tadi kami ke sini dulu buat ambil mobilku yang ditinggal kemarin, waktu aku balik lagi dia udah nggak ada di mobilnya," kata Liv.
"Dan tiba-tiba aku ditelepon, katanya kamu pingsan. Di krematorium? Sendirian?"

"Sekarang Mark di mana?" aku baru sadar dia tidak ada.

"Harus kembali ke habitatnya," jawab Liv. "Anu... ngomong-ngomong, Na Jaemin ada di sini sekarang?"


Aku baru sadar kami ternyata di lahan parkir krematorium. Pantas Jaemin masih bisa mengikutiku. Dia masih duduk murung di belakang Liv, tatapannya kosong.

"Di belakangmu, Liv," ucapku.

Tanpa menoleh ke belakang untuk memastikan, Liv terkesiap.
"Dia jadi arwah? Berartiㅡ diaㅡ"

Aku mengangguk lagi untuk mengiyakan kalimat Liv yang menggantung. Untuk kedua kalinya dia terkulai lemas. Tampak sama terpukulnya denganku.

"Ini semua gara-gara aku. Aku yang salah menebak konektornya, aku yang sok tahu. Aku terlalu buru-buru dan gegabah. Maaf, Alice," ujarnya. "Na Jaemin, maaf."

"Liv, jangan bilang gitu," gelengku. "Ini bukan salah siapa-siapa."

"Tapi... kita gagal," sangkalnya. "Maaf, aku nggak berguna."


Jaemin masih melempar tatapan hampanya padaku, membuat dadaku makin sesak saja. Tapi setidaknya sekarang aku bisa melihatnya, itu cukup. Tinggal langkah selanjutnya ㅡbaiklah, waktunya kembali berpikir jernih.


"Secara teknis mungkin Jaemin udah meninggal, tapi tubuhnya masih hidup. Aku nggak tau kemungkinannya sebesar apa, tapi menurutku kita masih punya kesempatan," ujarku sambil menguatkan diri sendiri.

"Kesempatan apa? Maksudnya kalau Jaeyoon bisa dimusnahkan, mungkin Jaemin bisa kembali?"

"Exactly," anggukku. "Itu baru pemikiran sekilas, mungkin ada banyak teori pendukung ㅡdari buku misalnya?"

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang