44. the thing

44.3K 9.9K 3.7K
                                    

Sisa hari ini seperti tidak mengijinkanku untuk bernafas lega.









Aku dan Livia bukan hanya panik karena Mark tiba-tiba pingsan, masalah selanjutnya muncul karena kami tidak tahu harus membawa Mark kemana. Tapi setelah aku memastikan orang tuaku tidak pulang ke Seoul malam ini, akhirnya kami memutuskan membawa Mark ke rumahku.









"Gimana?" tanyaku.

Livia menjauhkan telinganya dari dada Mark.
"Mampir ke apotek sebentar," jawabnya singkat.


Memang Mark terlihat baik-baik saja sebenarnya, aku juga heran kenapa dia tiba-tiba pingsan. Mungkin hidungnya berdarah karena terbentur permukaan tanah? Tapi tidak ada memar atau lecet.
Entahlah.

Liv menyetir dua kali lebih ngebut, membuatku menahan nafas karena takut terjadi kecelakaan. Tapi dia sepertinya sudah biasa, kami sampai di rumahku dengan selamat setelah Liv membeli entah apa di apotek. Tantangan selanjutnya, membawa Mark ke dalam rumah.







"Pingsan apa mati sih?" dengus Liv kesal. "Kalau ditampar kira-kira bangun nggak ya?"

"Ehㅡ jangan Liv," cegahku walau kurasa dia tidak serius.

"Nih. Minggir," Liv menyerahkan bawaannya ke tanganku lalu mengangkat Mark di punggungnya.

Ya, dia sekuat ituㅡ aku juga heran. Padahal dia hanya sedikit lebih tinggi dari aku. Makanya menurutku wajar Liv kesal, dia harus repot gara-gara Mark dan aku terlalu lemah untuk membantu.

Hujan lebat turun tepat setelah aku memasukkan mobil mereka ke garasi. Saat aku masuk rumah, Livia sudah sibuk dengan benda-benda yang ia beli di apotek.


"Aku boleh tanya?" ujarku saat Liv serius memakai sarung tangan karet dan mempersiapkan infus cairan warna pink.

"Apa?"

"Kok bisa beli benda-benda ini? Kan nggak punya ID paramedis?" tanyaku. "Terus kamu yakin ini penanganan yang tepat?"

Liv tersenyum tipis.
"Panjang ceritanya. Tapi tenang aja, aku yakin dan aku bisa kalau cuma pasang infus."

"Itu infus apa?"

"Vitamin. Neurobion. Nggak lama pasti dia sehat lagi, trust me."


Bagaimanapun, Liv memang tampak cekatan. Aku hanya menonton dengan kagum.

"Kamu penuh kejutan ya," aku tersenyum pada Liv.

Liv tertawa kecil.
"Mau tau yang lain?"

"Apa?"

"Well, nggak penting sih, tapi aku mau kuliah kedokteran tahun ini. Biar kayak orang normal."

"Really? Wow, good luck," ucapku senang.

"Yakin? Dokter model gitu paling pasiennya takut semua nanti."


Ya, itu suara Mark.
Dia tertawa lemah seakan-akan baru mendengar lawakan. Kulihat Liv sudah menatapnya super judes, tapi sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, kami bertiga terperanjat mendengar suara bel dan ketukan keras di pintu depan.

Samar-samar aku mendengar 'Alice' dan 'buka' diteriakkan, bercampur dengan suara hujan deras. Aku baru ingat tadi memasang selot pintu, jadi pintu tidak bisa dibuka dari luar.








"Siapa?" tanya Liv pelan.

"Sebentar, aku liat dulu," ujarku gugup.


Aku berlari ke depan pintu, melihat ke layar interkom. Tampak sosok jangkung dengan wajah dibayangi tudung, sementara gedoran di pintu semakin menjadi-jadi. Itu... Jaemin.
Ya, walaupun minim cahaya, aku mengenali wajahnya.
Tapi dia mau apa? Ini gawat.








Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang