48. the truth untold

47.2K 9.7K 4.8K
                                    

The Truth Untold by BTS







Teka-teki dari jurnal ibu Byun belum menemukan titik terang selanjutnya. Kami bertiga sibuk masing-masing. Liv mulai persiapan masuk kuliah secara 'normal', aku dengan jadwal kuliah yang padat seperti biasa, Mark dengan panggungnya. Dunia kami berbeda.


Sampai hari ini Liv belum tahu tentang aku dan Jaemin. Sementara Mark yang sudah tahu entah kenapa jadi agak canggung denganku. Setelah kekesalannya kemarin, dia belum pernah berkomentar apa-apa, atau melakukan sesuatu yang ㅡyah, kita tau sikap Mark Lee biasanya bagaimana padaku. Tidak, dia tidak melakukan apapun.



Tapi ada yang aneh.



Mark tadinya tidak tahu, dan dia bilang tidak ada yang tahu ㅡbahkan Lee Jeno?
Rupanya Jaemin juga menyimpan semua ini sendiri. Dia belum memberi tahu siapapun. Aku penasaran apa alasannya ㅡoh, okay, aku mungkin memang tidak sepenting itu untuk Jaemin bicarakan dengan teman-temannya. Tapi tetap saja...



Terlalu banyak keganjilan.



Tell me, bukan aku saja yang merasa kalau bahkan sampai saat ini masih ada yang Jaemin sembunyikan rapat-rapat.
Aku bukan siapa-siapanya, tapi aku merasakan keanehan itu. Atau... cuma perasaanku saja?










"Alice?"


Aku tersentak mendengar suara Choi Eri. "Y-ya?"

"Kaget? Lagi ngelamun ya?" tanya Eri ㅡdia baru dari loket pendaftaran.

"Nggak kok ㅡeh, iya. Maksudnyaㅡ bukan apa-apa," racauku tidak jelas.

Eri terkekeh. "Mau kopi?"

"No, thanks. Asam lambungku belakangan lagi naik."






Aku berdiri dan mengikuti Eri berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan entah apa. Hari ini aku menemani Eri semacam check up untuk orang yang mau menikah. Harusnya dia pergi dengan prof. Lee tapi orang itu entah kemana, susah dihubungi sejak pagi ㅡdasar cowok.





"Mau ikut masuk?" tanya Eri saat kami sampai di ruangan paling ujung.

"Eh? Nggak deh," tolakku. Yang benar saja, pasti awkward kalau aku menonton prosedur check up-nya.

"Hm... oke. Tunggu di sini ya, atau kabari aja misalnya kamu ke tempat lain," kata Eri.

"Okay."












Choi Eri masuk ke ruangan di seberang bangku kayu yang sekarang kududuki. Aku menatap langit yang tampak muram dari balik jendela besar di dinding. Damn, kekosongan yang familiar mulai merambatiku.











"Kamu emang membosankan."

"Aku suka orang lain."








Dengan gusar aku menggelengkan kepala untuk mengusir suara-suara dalam kepalaku. Tanganku agak bergetar saat merogoh tas untuk mengeluarkan lembaran esai tulis tangan yang belum selesai. Aku harus menyibukkan diri, supaya pikiranku tidak kosong. Sejauh ini, teknik menyibukkan diri berhasil. Walaupun imbasnya aku selalu kelelahan di ujung hari.

Angin bertiup cukup kencang, menyusup ke jendela yang terbuka lebar. Rambutku berantakan karena angin, dan ini agak menganggu kegiatan nekat menulis esai sambil duduk. Aku merogoh saku untuk mencari karet rambut, di saat yang sama angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Kertas-kertas di pangkuanku terbang berhamburan ke segala arah.

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang