81. the other connector

Start from the beginning
                                    

Sejenak Liv diam, berpikir dengan dahi berkerut.

"Kita ke rumahku," cetusnya.

"Liv, tapiㅡ"

"Ikut dia, Alice. Di sini dingin, gelap, banyak hantu. Kamu pasti terganggu, belum terbiasa liat mereka lagi," Jaemin bicara padaku.
"Sekarang ternyata keadaannya beda. Aku nggak bisa pergi dari tempat ini, pasti ujung-ujungnya selalu kembali lagi ke krematorium."


Aku menatap Jaemin ㅡbenar rupanya dugaanku. Jaemin terjebak di tempat ini sebagai arwah penasaran karena kematiannya tidak wajar.

"Nggak, aku temenin kamu ya?" aku tersenyum padanya.

"Jangan, aku punya banyak temen hantu kok," Jaemin tertawa hambar. "Tempat orang hidup bukan di sini."

Senyumku memudar. Jaemin sadar dia sudah mati.
Tapi tidakㅡ aku yakin ini bukan akhir dari segalanya. Satu hal yang pasti, ini bukan waktunya berdebat dengan Jaemin. Setelah bertemu iblis lagi tadi, aku tidak mau diremehkan.

Aku harus kuat, tidak boleh memanggil makhluk itu lagi selamanya.


"Oke. Aku pergi," akhirnya aku mengalah. "Tapiㅡ Liv, bisa aku berdua sama Jaemin sebentar."

"Ah? Okay. Lagian kalaupun aku join juga nggak akan ngerti," Liv mengangkat bahu, beranjak membuka pintu. "Take your time."

Saat Liv sudah keluar, aku menatap Jaemin, berusaha menguatkan diri sendiri melihatnya dalam bentuk arwah lagi. Walaupun nyatanya Jaemin tampak sama seperti manusia hidup, hanya lebih pias.


"Maaf, aku nggak bisa berbuat apa-apa," Jaemin membuka percakapan.

"Kamu udah bertahan sebisanya," gelengku.

"Kenapa kamu masih nekat juga? Main-main sama ritual iblis?" tukas Jaemin. "Gimana aku mau pergi dengan tenang?"

"Jaeminㅡ tolong jangan bilang gitu. Kamu nggak akan pergi kemana-mana."

Dia tersenyum getir.
"Alice, aku udah meninggal. Ini beda, bukan astral projection. Aku mati," ujarnya.

Aku kesal, tapi sudah kubilang aku tidak mood berdebat ㅡhanya akan memperkeruh keadaan.
"Tapi tubuh kamu masih hidup!" sangkalku. "Kamu cuma perlu mengambil alih lagi."

"Caranya?" tanya Jaemin pesimis.

Mulutku terbuka tanpa suara. Memang sejauh ini aku belum punya rencana baru.
"Pasti ada jalan, aku yakin."

Jaemin mendekat padaku supaya matanya tepat menatapku.
"Alice, aku mohon jangan berkorban lagi."

Aku berdecak kesal.
"Seandainya aku bisa, Na Jaemin," gerutuku.
"Dan kamu liat yang terjadi sekarang? Kamu ada di sana kan waktu Mark bilang kita ditakdirkan saling menjaga?"

Giliran Jaemin yang terdiam.

"Kita masih ditakdirkan saling menjaga," lanjutku lirih.

Hening sejenak, tetesan keperakan meluncur di pipi Jaemin yang pucat.
"Kita? Nggak, Alice," gelengnya dengan tawa menyedihkan.
"Selalu kamu, aku nggak pernah berbuat apa-apa."

"Terserah, aku nggak peduli," aku membuang muka supaya tidak terpancing ikut menangis.
"Pokoknya aku yakin kamu masih punya kesempatan, aku nggak butuh persetujuan kamu. Oke?"

Lagi-lagi Jaemin terdiam. Tatapannya beralih pada telapak tanganku yang tergores deretan titik-titik.
"Kamu yakin ini bukan karena perjanjian iblis? Murni karena takdir antara kita masih berlaku?"

Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now