Aku memicingkan mata. Apa sebenarnya rencana si brengsek itu?


"Aneh," gumam Mark setelah mengakhiri sambungan telepon. "Dia bertindak kayak Jaemin asli, bahkan nggak ada yang curiga."

Kami terdiam, mulai tegang lagi.
"Kita belum tau apa rencananya," ujarku. "Lebih baik kalian pulang dulu sekarang, mumpung makhluk itu lagi nggak berkeliaran. Mark, kamu udah dicariin kan?"

Mark tampak ragu, menatapku khawatir. Pada akhirnya dia membuang nafas gusar.
"Ya udah, tapi kamu hati-hati ya."

Aku mengangguk.
"Kalian juga hati-hati. Kita ketemu lagi secepatnya."

"Um- oke," Mark bersiap pergi. "Lagian jadwalku kebetulan lagi banyak yang bareng Jaemin, itu secara nggak langsung membantu mengawasi gerak-geriknya kan?"

"Iya juga," gumam Liv. "Kalo gitu aku pulang dulu, secepatnya ke sini lagi."

Mereka tidak berlama-lama lagi, langsung mengemasi barang masing-masing dan kuantar ke pintu. Baru kali ini aku tidak sabar ingin mereka segera pulang, padahal sebenarnya dalam hati juga berat.
Memang rasanya paling aman kalau kami bersama.

Tapi ada yang mungkin lebih sendirian, Na Jaemin.







Aku berdiri gugup di depan pintu, melihat Mark dan Liv masih saja berdebat sambil berjalan pulang. Begitu mereka menghilang di lift aku langsung bergegas masuk.
Sambil mengecek jam operasional krematorium, aku menjejalkan dompet dan ponsel ke dalam tas. Baiklah, aku baru tahu mereka buka pagi-pagi buta rupanya.

Hatiku berdesir saat mengangkat benda paling penting, sebuah sisir. Benda itu berkilat di bawah cahaya lampu. Aku memasukkannya ke tas, merasakan dadaku mulai sesak.

Nekat.
Aku tahu ini sangat nekat dan mendadak, tapi harus. Dengan pikiran kacau aku memesan taksi, langsung menuju krematorium.

Kalian tahu persis apa yang akan kulakukan. Ya, aku akan menjual takdirku dengan iblis.
Aku tahu ini keputusan bodoh, tapi memangnya ada solusi lain sekarang?





Aku butuh mata lamaku.

Mata yang menghubungkanku dengan dimensi lain. Mata yang mempertemukanku dengan Jaemin. Mata yang berhasil menyelamatkan hidup Jaemin.

Oh, masa bodoh dengan diriku.
Apa mungkin penawarannya masih sama?
Tidak apa kalau kelak aku harus menikah dengan Mark atau siapapun, sungguh tidak apa-apa.


"Kalau ada yang harus dikorbankan, mungkin itu kita."


Perkataan Jaemin terngiang di telingaku. Dia benar, aku mungkin harus mengorbankan kemungkinan untuk memilikinya selamanya.

Aku tidak peduli lagi.
Yang penting saat ini aku bisa berguna, aku bisa mendapatkan lagi penglihatan istimewaku.

Pedih rasanya mengingat wajah mereka semua. Jaemin, Mark, Livia...
Maafkan aku.
Hanya ini yang aku bisa.









Saat taksi memasuki pelataran krematorium, aku buru-buru menyeka air mata dengan lengan mantel. Setelah membayar, aku terdiam menatap bangunan megah nan suram di depanku.
Jujur aku gentar, tapi aku harus yakin.

Police line rupanya masih menutup bagian depan krematorium karena insiden kemarin. Sialㅡ berarti aku tidak bisa masuk?

Iseng, aku tetap berjalan menembus garis kuning. Sambil berdoa dalam hati aku mendorong pintu kaca besar di bagian depan bangunan ini. Please, Tuhan, aku harus bisa masuk.





Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now