"Ish cerewet," sungut Liv. "Pengangguran?? Urusanku banyak, tau."


Nah, kan.
Mereka mulai bertengkar lagi seperti biasa, lebih baik aku tutup telinga. Sambil menyendok sereal yang terasa hambar di mulut, aku berpikir sendiri bagaimana baiknya.
Ikut ke rumah Liv?
Pergi ke rumah orang tuaku?

Oh- astaga, sementara itu mereka makin brutal. Mulai kejar-kejaran dan saling lempar. Tidak memakai benda-benda berbahaya sih, tapi tetap sajaㅡ


pluk




Sebuah sisir kecil warna merah darah jatuh di dekat mangkuk serealku. Beberapa detik kemudian Liv memungutnya sambil misuh-misuh mengatai Mark.








Sebentar.








Sisir.






Kepalaku berdenging ngeri akibat ide yang ada di dalamnya.
Oke, ini terdengar gila. Tapi harapanku satu-satunya saat ini adalah bisa memastikan keberadaan Jaemin. Seandainya benar dia sudah meninggal, berarti arwahnya jadi roh penasaran.

Roh penasaran tidak bisa meninggalkan tempat dirinya meninggal sampai kapanpun. Berarti Jaemin terjebak di krematorium.
Hatiku mencelos. Aku harus memastikan semua ini, dan untuk melakukan itu aku harus bisa melihat arwah.








Penglihatan lamaku.
Aku butuh penglihatan lamaku.






Satu caraㅡ atau mungkin satu-satunya cara, terlintas di pikiranku. Aku menyimpannya sendiri, tak sedikit pun berniat menyatakannya pada Mark apalagi Livia. Rasa nyeri yang familiar mulai merayapi hatiku, tapi kali ini aku tidak boleh gentar.

Aku harus menemukan Jaemin.
Harus.
Bagaimanapun caranya.






"Pulang ke rumah Eri atau nggak usah sama sekali," ancam Mark, terengah-engah karena mulai kelelahan.

Liv tampak sama lelahnya, bersandar di punggung sofa.
"Nggak mau, Mark Lee," gelengnya.

"Dasar anak bandel kepala batu!"

"Aku-bukan-anak-anak!"

"Guys, hey," aku akhirnya turun tangan untuk menengahi. Pasalnya, makin lama mereka bertengkar maka pergerakanku juga akan makin terhambat.

"Alice, kamu ikut aja ya ke rumahku?" ajak Liv.

Tidak Liv, sorry, aku punya rencana lain.

"Aku tinggal di rumah aja kayaknya. Agak pusing," bohongku. "Kamu boleh ke sini lagi kapanpun, tapi nggak apa-apa kalau mau pulang dulu."

"Kok kamu mendukung dia pulang sendirian sih?" keluh Mark.

"Sendirian? Sama kamu lah, nggak sendirian," sahutku. Dalam hati aku khawatir juga pada Liv, tapi aku harus menghindar dari mereka sekarang.

"No, thanks. Aku pulang sendiri," Liv mengangkat tangan. "Aku bisa jaga diri, kalian pasti tau kan?"

"Sombongnya nggak habis-habis, heran," decak Mark.

"Ahㅡ gimana kalau kita memastikan aja sekarang dimana Jaeminㅡ eh, maksudku Jaeyoon atau siapapun lah itu. Gimana?" aku mengusulkan, sebelum mereka ribut lagi.

Mark menatapku beberapa saat lalu mengangguk.
"Oke. Ide yang masuk akal."

Kami menonton Mark menghubungi seseorang, manager mereka sepertinya. Belum apa-apa dia sudah dimarahi dari seberang sana, tapi akhirnya mereka membicarakan Jaemin. Dari yang kudengar, Jaemin ada bersama manajemen mereka.

Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now