65. birthday present

Mulai dari awal
                                    

"Ohㅡ shit," umpatku.


Aku berjongkok di lantaiㅡ memunguti sisir, sunblock, lip balm, uang, pulpen, salah satu buku demonology Liv yang dia tinggalkan di rumahku, dan... jurnal.
Ya, jurnal milik orang yang membuat rumit hidup banyak orang ㅡtermasuk anak-anaknya sendiri.
Nama ibu kandung Livia, tercetak di sampul jurnal yang agak kusam.

Duduk lagi setelah memunguti benda-benda tadi, aku menaruh buku Liv dan jurnal ibunya di pinggiran kasur pasien. Mataku kembali tertuju pada Livia, sementara jurnal kubuka persis di halaman paling belakang.


"Liv, kamu yakin?" gumamku sambil membaca tulisannya yang banyak coretan.

Yang Livia tulis adalah beberapa tanggal yang berurutan. Di samping tanggal-tanggal itu tertulis 'Diabolos' atau 'cemetery', berbeda-beda.
Tapi aku mengerti, ini sebuah pola.
Pola kegiatan nyonya Byun sebelum dia memanggil arwah anak laki-lakinya lagi ke dunia.


Di bawah tanggal-tanggal itu Liv menggambar sesuatu, jelek sekali, tapi bisa kutangkap kalau dia menggambar sebuah liontin dengan inisial L di tengahnya.
Kesimpulanku sejauh ini, sesuatu yang diambil ibu Byun dari makam dia bawa ke Diabolos dan entah bagaimana wujudnya berubah menjadi sebuah liontin.


Dari gambar liontin, ada tanda panah yang menunjuk satu nama: Na Jaemin ㅡplus tanda tanya besar di sampingnya.
Ini aku tidak mengerti. Mungkin Liv bertanya-tanya, benda apa yang Jaemin dapat dari Diabolos seandainya dia membawa abu kremasi Jaeyoon ke sana?

Entahlah.







"Aku bingung, Liv. Ini semua nggak bisa kumengerti sendiri," ujarku pada Livia. "Sampai sekarang aku belum berani bilang tentang ini sama siapapun. Aku... takut roh jahat itu tau rencana kita lewat Jaemin atau Mark."



Ya, itu alasan kuat kenapa aku menyembunyikan ini semua dari Jaemin dan Mark. Benda yang diambil Jaemin dari Diabolos adalah penghubung roh jahat itu dengan dunia ini.
Pasti Jaemin yang menyimpannya. Tidak salah lagi.


"Semakin hari kayaknya Jaemin makin lemah, walaupun dia terus berusaha tampak biasa aja. Aku nggak mau kemungkinan paling buruk terjadi. Jaemin nggak boleh... m-meninggal," ucapku tersenggal.
Aku menggenggam punggung tangan Liv.
"Makanya, aku butuh kamu. Segera," ucapku sejujur-jujurnya.




Telapak tangan Liv bergerak, menggenggam lemah jari-jariku. Ia membuka mata perlahan dan menatapku, tersenyum... tapi itu semua hanya khayalanku.
Livia tak bergerak sedikitpun.




"Hm... aku penasaran, kamu di mana sekarang? Apa di sini atau berkeliaran kayak Jaemin dulu?" ujarku sambil menatap Liv. "Seandainya aku masih bisa liat arwah..."



Baru saja aku menopang dagu, saat gerakanku itu membuat buku tebal Livia jatuh untuk kedua kalinya. Aku menggerutu, membungkuk untuk mengambil benda itu.
Tapi, sebentarㅡ  buku yang tergeletak dalam keadaan terbuka itu menarik perhatianku.

Aku mengangkat buku tanpa menutupnya, membaca halaman yang tidak sengaja terbuka. Tulisannya 'the long haired demon, a good friend to grant your wish', dengan ilustrasi seorang iblis laki-laki dengan tubuh pendek tapi rambut sangat panjang.


"Panggil dia dengan cara menggenggam sisir sampai keluar sedikit darah, berdiri menghadap utara. Dia akan datang, mengabulkan permintaanmu ㅡkalau penawaranmu menarik," gumamku membaca deskripsi yang tertulis.
"Iblis tidak berbahaya. Jahat, tapi pergi setelah mendapatkan yang dia mau. Tidak licik, tapi cerdas."


Bodoh, itu sih sama saja, pikirku. Yahㅡ namanya juga iblis, bagaimana mungkin aku mengharapkan sifat ibu peri?





"Liv, kamu percaya buku-buku semacam ini tapi mau kuliah kedokteran?" aku tertawa kecil menatap Livia. "Yang satu tahayul, yang satu sains. Bertolak belakang banget."


Iseng-iseng aku berpikir, seandainya penglihatan istimewaku masih ada, pasti akan sangat membantu saat ini. Pertama, aku bisa berbicara dengan Livia. Kedua, aku bisa melihat roh jahat yang mengikutin Jaemin.
Wow. Itu bagus sekali.








Seandainya aku bisa melihat arwah lagi...









Mataku seperti ditarik magnet yang berasal dari halaman buku yang baru saja kubaca.
'Keinginan akan dikabulkan dengan cara menukar sesuatu'.






Aku menggenggam sisir kecil milikku.
Iblis tidak terlalu berbahaya ㅡharuskah aku mencobanya untuk mendapatkan kembali penglihatan arwahku?

Toh kalau penawaranku tidak sesuai, kesepakatannya tidak jadi. Ohㅡ bahkan aku tidak yakin omong kosong dalam buku bodoh ini akan benar-benar bekerja.
I meanㅡ ini tahun 2018?




Buku Livia kutaruh di nakas dekat kasur. Aku tersenyum tipis, menggenggam sisir sambil berjalan menuju ke depan jendela kamar rumah sakit.
Utara, kebetulan arahnya memang ke sisi luar gedung. Aku berdiri di depan kaca lebar yang membatasi ruangan ini dengan udara bebas di luar sana, mempertimbangkan apa yang akan kulakukan.

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu dengan nekat menggenggam sisir seerat mungkin sampai telapak tanganku pedih ㅡtapi sepertinya belum berdarah. Mataku terpejam menahan sakit, terus kuadu ujung sisir yang runcing dengan kulit telapak tangan.
Dalam hati aku merapalkan mantra yang katanya bisa memanggil 'the long haired demon'.




"Ah!" pekikku pelan, merasakan kulit ditembus ujung sisir.

Aku mengangkat tangan, beberapa titik darah tampak di telapak tanganku. Agak ngilu, tapi ini bukan luka parah.
Lalu sekarang apa?
Aku diam, menunggu.









Semenit.









Dua menit.









Lima menit.










Tidak terjadi apa-apa. Tidak muncul apa-apa.
Di hadapanku tetap pemandangan petang kota Seoul di balik jendela kaca besar.
Aku tertawa sambil berdecih setelah bengong cukup lama di depan jendela.

Oke, sudah kuduga ini ide bodoh.
Lebih baik aku cuci tangan dan membersihkan luka konyol di telapak tanganku.









Tapi rupanya saat aku berbalik, di luar dugaanku ada sosok selain Livia di ruangan ini.
Rambut pirang panjang, kulit pucat, tubuh tidak terlalu tinggi, hidung runcing, berdiri melayang sekitar tiga puluh senti di atas lantai.

"Hai," suaranya berdesir dingin dari mulut yang menyeringai misterius.









Belum sempat aku kaget, apalagi membalas sapaan ramahnya, tiba-tiba sosok itu bergerak secepat angin ke arahku. Dia menerjangku, sampai punggungku menabrak kaca jendela dan membuatnya hancur menjadi serpihan-serpihan kecil.









Ingin berteriak, tapi lidahku kelu.
Tubuhku melayang tertarik gravitasi, jatuh bebas dari lantai sepuluh bangunan rumah sakit.

ㅡtbc

"Things lead me to endless despair

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Things lead me to endless despair. If demons come when they are called, what if I try to call one?"

Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang