62. the moon

Mulai dari awal
                                    

Kami terdiam lagi menatap Liv yang bergeming dalam tidurnya. Hanya terdengar suara mesin-mesin medis di ruangan ini. Ketenangan yang hampa.

"Apa kata dokter? Separah apa orang ini?" tanya Jaemin, mengalihkan topik.

"Lukanya nggak ditangani dengan baik, jadi pendarahan lagi dan ada infeksi. Terus dia kehabisan lumayan banyak darah," jawabku. "Intinya, penanganan telat."

"Terus semaleman Mark hyung di rumah dia ngapain aja?" decih Jaemin.

"Liv mau kuliah kedokteran. Dia emang kayaknya lebih suka mengobati diri sendiri daripada ke rumah sakit," jawabku.

Mata Jaemin menatap wajah Liv yang pucat.
"Sejak kapan kalian sedekat itu? Dari kemarin aku mau tanya Mark hyung tapi takut dia makin stress."

"Hm... aku juga kadang nggak percaya bisa temenan sama Liv. Ini terjadi gitu aja, sejak kami sering ketemu karena curiga ada sesuatu yang salah di diri kamu," jawabku.

"Segampang itu kamu percaya orang ini?" tanya Jaemin.

Aku menggeleng.
"Awalnya juga aku takut, tapi aku sadar Liv juga cuma korban. Ada di tempat dan waktu yang salah. Dia kuat, mandiri, tapi juga kesepian," ujarku.

Jaemin tersenyum menatap Liv.
"Bahkan orang tuamu lebih kenal dia daripada aku? Barbie, katanya?"

"Ya, kayaknya Mark dan Livia udah mereka anggap anak juga," ucapku. "Orang tua Liv udah nggak ada, orang tua Mark jauh."

"Hm... sekarang aku agak ngerti maksud Mark hyung," timpal Jaemin. "Ternyata maksudnya mereka merasakan 'keluarga' di keluarga kamu."

"Love can turns an enemy into a friend," ujarku. "Livia buktinya. Aku yakin dia udah berubah."

Jaemin menghela nafas.
"Kalau gitu dia harus sembuh, harus bangun. Banyak hal yang mau aku tanya ke dia," kata Jaemin.

"Pasti. Aku yakin dia sembuh, harus," ucapku sedih.


Jaemin mengusap pundakku dari samping. Selama beberapa saat kami larut dalam lamunan masing-masing sambil memandangi Livia yang terbaring tenang di kasur.


"Alice, aku rasa cuma kamu yang bisa hibur Mark hyung," kata Jaemin tiba-tiba.

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena Liv kan lagi koma," jawab Jaemin. "Aku yakin dia sebenernya ingin ketemu kalian, tapi takut dan masih merasa bersalah."

"Terus... aku harus gimana?"

Jaemin menatapku, tersenyum.
"Tenang, aku udah ada rencana. Dan sejauh ini berhasil," ucapnya senang. "The power of teamwork."

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Sekarang Jeno, Haechan, Renjun, hampir sampai di rumah sakit ini. Mereka bawa Mark hyung."

"Hah? Ngapain? Kenapa dia mau?"

"Ceritanya Renjun pura-pura belajar nyetir," Jaemin terkekeh. "Jadi nanti mereka turunin Mark hyung di sini, kamu yang jemput."

"Apa?" tanyaku kaget.

"Bagus kan rencananya?" tanya Jaemin bangga. "Nah, kayaknya mereka udah mau sampai. Ayo ke bawah."




Jaemin menarikku berdiri sebelum aku sempat banyak tanya lagi. Kami keluar dari ruang rawat inap Livia. Rasanya seperti deja vu, berjalan di koridor rumah sakit bersama Jaemin.
Tapi kali ini santai, tidak buru-buru sama sekali. Beberapa kali Jaemin mengecek ponselnya, dan memberitahukan isi pembicarannya dengan teman-temannya yang sedang menuju ke sini padaku.


Vacancy ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang