"Jangan kabur, Alice Kim!"

Kakiku tiba-tiba ditarik dari belakang. Aku menjerit, jatuh dengan lutut membentur lantai. Dengan berat hati aku menendang pundak Mark, dia menabrak kursi sampai kursi itu terbalik dan menindihnya. Aku bangkit, berusaha lari dengan lutut ngilu setengah mati.

Mark tidak tinggal diam, susah payah dia mengulurkan tangan dari balik kursi. Sial, dia berhasil menyambar gelang di tanganku. Aku terisak tanpa suara.
Jangan gelang ini, please.
Gelang ini dari Mark, gelang biru Ukraina.

"Mark, jangan," pintaku putus asa.

Perlahan Mark menyingkirkan kursi berat yang menindihnya. Aku berusaha lari sambil menggigil ketakutan, pergelangan tanganku rasanya teriris rantai pengait gelang. Saat suara lengguhan aneh keluar dari mulut Mark, aku berteriak ngeri sambil menarik tangan sekuat tenaga.

Berhasil, gelangnya putus.

Mark terjungkal dengan muka terkena cipratan darah dari tanganku. Kesempatan ini tidak kusia-siakan untuk kabur. Pintu depan terbuka lebar ㅡaneh, padahal rasanya tadi sudah kututup. Tapi masa bodoh, aku bisa berlari lebih leluasa.

Aku tidak peduli lagi pada apapun setelah itu. Seperti orang kesetanan aku berlari keluar sambil menggenggam erat-erat handphone Mark. Tanpa menutup pintu lagi, tanpa alas kaki, tanpa berani menoleh ke belakang.

Cuaca masih sama buruknya di luar. Aku terus berlari dan berlari secepat mungkin, tanpa tahu tujuan, menghindar dari jalan raya karena lebih besar kemungkinan Mark akan mengejarku ke arah sana.

Dingin dan kakiku pedih karena tergores-gores aspal.
Tapi aku tetap berlari menyusuri gang-gang sempit, mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganku. Sampai akhirnya kurasa sudah cukup jauh dari rumah, aku berhenti karena kehabisan nafas.

Masih terus waspada, aku mencari tempat berlindung. Daerah ini kumuh, beberapa toko yang buka tampak tidak bersahabat. Satu-satunya tempat yang paling memungkinkan hanya sebuah minimarket bobrok tanpa satu pun pembeli. Aku menyeret langkah ke sana, masuk dan langsung duduk terengah-engah di salah satu sudutnya.

"M-maaf, anu, permisi..." kasir minimarket menghampiriku, mungkin aku dikira orang gila.

"Saya- numpang duduk, sebentar, tolong," aku memohon dengan nafas tersenggal.

"Tapiㅡ"

"Sebentar aja, tolong," rengekku.

Cewek kasir itu tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. Dia menatapku khawatir.

"Saya ada di kasir ㅡbarangkali butuh sesuatu," dia tersenyum canggung.

Aku mengangguk penuh rasa terima kasih.
Setelah kasir minimarket meninggalkanku, dengan tangan masih bergetar aku mengeluarkan ponsel Mark.







Blank.







Siapa yang harus kuhubungi?

Orang tuaku?

Tidak. Mark bisa kena masalah dan akan panjang masalahnya.

Polisi?

Ide buruk. Orang tuaku polisi.

Livia.

Ya, dia satu-satunya harapanku sekarang.







Aku membuka kontak di handphone Mark, mencari nama Livia dan segera meneleponnya. Dengan gugup aku mendengar bunyi sambungan telepon yang menyiksa. Sialㅡ tidak diangkat.

Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now