Pertanyaanku terjawab tak lama kemudian. Liv yang menyetir alih-alih Mark. Ternyata alasannya karena Mark menjatuhkan remahan apple pie di mobil Liv tempo hari ㅡbenar kan dugaanku. Liv bilang 'orang itu' sudah di-blacklist dari mobilnya.



"Ya ampun, kirain kenapa," aku berkomentar setelah mendengar dua versi cerita panjang lebar mereka.
Rasanya seperti kakak yang mendengar pengaduan adik-adiknya.

"Ah, haus, aku kebanyakan ngomong," keluh Liv sambil membuka botol air minum di dekatnya.

"Awas kalau tumpah setetes aja di karpet, ganti sama mobil-mobilnya," ancam Mark.


Aku memelototi Mark. Sementara Liv sepertinya sudah lelah ribut, jadi dia tidak menanggapi. Kami mengobrol normal tentang aku, orang tuaku, pernikahan Choi Eri yang tinggal seminggu lagi. Tidak ada yang menyinggung Jaemin.



"Kadang takdir itu aneh ya. Eri senior Alice di kampus, kan? Dia juga bilang dulu kalian satu sekolah sama Esther," kata Liv.
"Oh iya, aku bilang ke Eri kalau kita kenal karena klub pecinta alam ㅡsumpah cuma kepikiran itu."

"Bodoh, harusnya jangan pecinta alam," protes Mark. "Bagusan pecinta Mark Lee."

"Alice, kamu nemu orang ini dimana sih???" sungut Liv.

"Mark, please deh," aku mengomeli Mark sambil menahan tawa. "Kenapa nggak bilang yang sebenernya aja, Liv?"

"What? Terus mengakui kalau tahun lalu aku hampir membunuh dua orang? Ehㅡ tiga malah."



Keadaan langsung berubah kaku. Kami diam-diaman beberapa saat sampai Mark buka suara.

"Liv, aku boleh tanya?"

"Nggak."

"Serius nih, nggak mau diseriusin?"

"Ishㅡ apa??"

"Kenapa keluarga Choi Eri marganya bukan Byun?"

Ah, benar juga. Aku menyimak, jadi sama penasarannya dengan Mark.



"Panjang ceritanya. Intinya ibu mereka yang bagian dari kami, terus diusir karena memberontak ㅡkayak aku sekarang.
Tapi nenek-ku nggak setega itu, aku sering dia ajak ketemu mereka diam-diam. Setiap berkunjung ke rumah mereka, aku main sama Eri dan Esther. Lu nggak pernah ikut, dia selalu dalam pengawasan ibuku," cerita Liv panjang lebar.
"Mereka baik, udah kayak saudara kandung. Dulu cuma mereka juga temen cewekku."

"Kok kamu belum diusir juga sih?" tanya Mark.

"Mungkin belum. Yah, bagus deh. Jadi masih banyak waktu buat menyelundupkan harta."

"H-hah?" kukira aku salah dengar.

"Kenapa? Aku nggak mau hidup miskin ㅡsiapa sih yang mau? Iya kan?" ujar Liv.

"Ehㅡ iya," aku menimpali.


Seperti mendengar skenario drama Korea. Ternyata kehidupan Liv memang beda, I can't relate.
Oh iya, aku baru sadar kalau physically Liv memang setipe dengan Eri dan Esther. Postur tubuh ramping, cantik, galak ㅡtidak heran kalau mereka ternyata satu keturunan.













Saat sampai di apartemen, orang tuaku sudah menunggu. Mereka memanggil Liv 'barbie' ㅡsumpah, aku yakin dalam hati Liv ingin menghujat. Barang-barang datang tidak lama kemudian, selesai dipindahkan dengan cepat karena memang tidak terlalu banyak.
Dengan bantuan Mark dan Liv, merapikan barang-barang jadi lebih cepat. Saat semua sudah hampir selesai, ayah dan ibuku pergi untuk mengecek rumah lama kami.



Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now