"Yah, rumah itu punya banyak kenangan," aku mengangguk.








Rasanya seperti nostalgia, menyusuri pedestrian di samping jalan raya menuju persimpangan ke arah rumah lamaku. Padahal baru sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu, tapi seperti sudah lama sekali sejak pertama kali Mark memulai semua itu.

Canggung.
Awalnya sangat canggung. Sulit dijelaskan bagaimana orang seasing dia sekarang bahkan sudah dianggap anak sendiri oleh orang tuaku.
Mark pernah menjadi satu-satunya temanku, yang sangat mengerti keadaan. Teman yang selalu menawarkan dirinya dalam keadaan apapun.



"Cuacanya jelek, ya?" Mark tersenyum, menggeser telapak tangannya supaya jari-jari kami bisa bertautan. "Tapi aku suka."

Aku menatapnya, kaget karena gerakan tiba-tiba itu. Seolah mengerti kebingunganku, Mark balas menatapku.
"Jangan jauh-jauh, nanti kamu kehujanan."


Sebelum aku sempat protes, Mark menuntunku menyeberang ruas-ruas zebra cross hingga kami sampai di seberang. Biasanya, dulu Mark selalu buru-buru melepaskan tanganku begitu sampai.
Tapi kali ini tidak.


"Dingin," ujarnya. "Jangan dilepas. Boleh kan?"

Aku menatapnya datar.
Ini yang membuatku bingung. Mark kadang bersikap biasa saja, tapi kadang tiba-tiba clingy begini.
Walaupun aku tidak mengiyakan, dia tetap mengeratkan tautan jari kami. Hangat, ya, memang hangat dalam cuaca begini.


"Kenapa sih, diem terus?" tanya Mark.

"Hm... nggak apa-apa," ujarku. "Biasanya kamu yang banyak omong."

Mark terkekeh.
"Iya. Itu salah satu yang aku suka dari kamu," ujarnya.



Oke, aku curiga Mark mabuk. Tapi masa aku mengendus mulutnya di tengah jalan?
Saat kami sudah hampir sampai, tampak elantra Mark di depan rumahku.



"Kamu parkir dulu di rumah?" tanyaku.

"Iya. Soalnya jalan kaki lebih romantis," jawab Mark. "Walaupun basah sedikit."

"Kamu nggak jemput Liv?" tanyaku gugup, mengalihkan pembicaraan.

Mark mengangkat bahu.
"Dia bisa sendiri."

Kami masuk ke dalam rumah. Agak bau debu karena tidak setiap hari dibersihkan.

"Aku ke atas dulu," ujarku.

Tapi lenganku ditahan dari belakang.

"Nanti aja," Mark mencegahku. "Aku punya sesuatu, sebentar."


Aku menurut saja saat Mark mendudukkanku di kursi dapur. Dia sendiri membuka kulkas dan mengeluarkan segelas cairan hijau segar.

"Itu apa?" tanyaku.

"Ramuan cinta," Mark tertawa kecil sambil menyodorkan gelas padaku.

Aku ikut tertawa.
"Kamu kenapa sih hari ini?"

"Nggak kenapa-kenapa," Mark mengangkat bahu. "Minum dulu."

"Tapi... ini apa?" aku menatap gelas di depanku dengan penasaran.

"Coba dulu, enak deh pokoknya," ujar Mark.


Mark menempelkan mulut gelas ke bibirku. Akhirnya aku mengambil alih gelas dan meneguk isinya. Kukira ini jus sayur yang pahit. Tapi ternyata rasanya manis, dia benar ㅡenak dan segar.


"Enak kan? Ayo, habisin," mata Mark berbinar senang.

Aku meletakkan gelas kosong di meja setelah selesai dengan tegukan terakhir. Mark bertepuk tangan.

Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now