Ohㅡ kenapa sih harus membahas itu lagi?

Aku hanya mengangguk pelan tanpa menatapnya.

"Oke," ucap Mark. "Lain kali, aku nggak akan telat lagi."


Telat lagi apa?
Lain kali kapan?

Entahlah, terserah. Aku lelah dibuat goyah terus, mentally and emotionally.

Kami sampai di tempat Livia, untuk kedua kalinya mengagumi mansion vampir ini. Liv membuka pintu, kali ini dengan penampilan gothic-nya.


"Guys," sapanya kaku menyambut aku dan Mark.

Dia mengajak kami berbicara di balkon alih-alih ruang duduk di tengah. Pemandangannya bagus, tapi bagaimanapun sepertinya terlalu suram tinggal di sini sendirian. Walaupun Liv tampak sangat introvert.










"Aku udah berpikir cukup banyak dan mendalam," ujar Liv. "Tapi buntu. Satu hal yang pasti, orang di Diabolos itu nggak bohong."

"Tau dari mana?" tukas Mark.

"Nggak ada gunanya buat mereka," kata Livia yakin. "Tanya Alice, cewek itu nggak bohong kan?"

Aku menggeleng, baru menyadarinya.
"Jadi... Jaemin...?"

"Mungkin bukan Jaemin," ucap Livia tertahan, suaranya bergetar ketakutan.

Nafasku terasa tercekat. Kami bertiga ketakutan, aku bisa merasakan itu.

"Nggak mungkin," Mark menggeleng. "Dia Jaemin kok, aku yakin!"

"Oke, belum ada yang pasti..." ujar Livia. "Tapi yang jelas, yang ke Diabolos bukan Na Jaemin."

"Terus siapa?" tanyaku kalut.

"Sebentarㅡ kamu bilang kamu pernah ke Diabolos? Sama ibumu?" Mark menatap Livia tajam.

"Ya," jawab Liv. "Tapi aku masih kecil, nggak begitu ngerti dan ingat apa yang ibuku lakukan disana dulu."

Aku menghela nafas putus asa. Otak, otakku harus bekerja. Dengan mata terpejam aku berpikir keras;

apa yang kira-kira dilakukan ibu Livia di Diabolos, sebelum munculnya Lucifer?






Manusia, iblis, arwah....

"Liv," panggilku. "Selain Diabolos, kamu tau ibumu ke tempat lain atau nggak?"

"Hmm...." Livia bergumam, mengingat-ingat. "Kayaknya sih kuburan keluarga. Dulu aku suka tempat itu, jadi selalu ikut."

Mark berjengit ngeri mendengar pengakuan masa kecil Livia yang suka bermain di kuburan.

"Kamu masih punya sisa liontin Lucifer?" aku merinding saat bertanya, teringat kejadian tahun lalu.

Muka Livia langsung pucat pasi. Dia menautkan jari-jarinya dengan cemas, dia ketakutan.

"M-masih. Kenapa?" tanya Liv.

"Boleh aku liat?" tanyaku. "Sumpahㅡ sebenernya aku nggak mau liat benda itu lagi, tapi kita harus."

"Why?" tanya Liv.

"Siapa tau ada petunjuk di situ... atau kamu bisa inget sesuatu," jawabku.

"Hm... okay."
Liv beranjak dari balkon.

Dia menarik kursi ke dekat dinding yang tergantung lukisan abstrak gelas wine dan cairan warna-warni. Liv naik ke atas kursi lalu menggeser lukisan itu, yang ternyata berengsel dan bisa dibuka seperti pintu. Di baliknya ada berangkas kecil ㅡseperti di film saja.


Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now