40. reasons

48.9K 10.1K 10.8K
                                    

Nekat.








Yah, apa lagi kata yang tepat untuk Mark Lee?

Aku belum bicara lagi dengan Mark karena aku memang tidak bisa bilang apa-apa. Shock berat, bahkan sampai berhari-hari berselang.
Kurasa Mark tahu kalau kelakuannya sudah kelewatan, tapi dia tidak minta maaf ㅡatau belum. Walaupun aku menghindar, sebenarnya kalau mau dia bisa dengan mudah minta bantuan ibuku. Tapi itu childish, jadi tidak mungkin Mark melakukannya.

Di sisi lain, bertemu Jaemin juga semakin sulit. Sudah lama dia tidak tiba-tiba muncul menemuiku. Aku tidak lagi mencurigainya karena sepertinya dia memang sangat sibuk. Seperti biasa kami sempat bertemu beberapa kali sebentar, dan Jaemin tampak lelah.
Tapi yang ia tunjukkan di depanku selalu sama ㅡsenyumnya.








Um... bukannya aku tidak percaya pada Liv, tapiㅡ


apa cuma aku yang merasa kalau ada yang mengganjal?


Tidak, aku tidak takut lagi pada Jaemin. Hanya saja rasanya ada sesuatu yang ganjil. Seakan-akan sulit dipercaya Liv semudah itu bilang kalau dia tidak merasakan apa-apa.










Jaemine
Nggak jadi ya, sorry :(
Aku agak pusing
Ily ❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤ [17.00]

Oke, jangan mencibir nama kontaknya ㅡitu kelakuan Jaemin. Dan sekarang aku merasakan kekecewaan karena Jaemin membatalkan janji. Tadinya dia mau menjemputku di toko buku, katanya.

Aku melangkah ke kasir sambil menimang ponsel, bingung mau membalas apa.

Alice
Kamu dimana? [17. 11]

Jaemine
Rumah, kenapa? [17. 13]








Aku tidak membalas lagi, langsung keluar dari toko begitu selesai membayar. Nekat, menyetop taksi untuk ke rumah Jaemin sekarang juga. Padahal belum tentu dia benar-benar sedang ada di rumah, tapi aku tak peduli.

Sebenarnya sudah biasa pembatalan tiba-tiba semacam ini, tapi kali ini aku ingin memastikan sendiri ㅡJaemin sedang apa?
Curiga? Bukan, aku hanya penasaran.








Yang pertama menyambutku di rumah kecil bercat creme ini adalah benda yang kutakuti ㅡmotor Jaemin.
Tapi aku senang karena mungkin ini tandanya Jaemin ada di rumah. Aku memencet bel, mengantisipasi siapapun yang membuka pintu.
Jaemin? Bibi tukang bersih-bersih? Ibunya?








"Lohㅡ Alice?"

Pintu terbuka. Jaemin menatapku kaget, shirtless, sebelah tangannya menenteng kaos. Tapi yang paling menarik perhatianku, tissue yang menyumpal lubang hidungnya.

"Ng... um..." aku bergumam bingung.

Jaemin menyampirkan kaosnya ke bahu, lalu mengambil alih buku-buku berat di pelukanku.

"Masuk," ajaknya. "Kirain ajumma."

Aku menurut, setelah menutup pintu mengikuti Jaemin ke dalam rumah. Dia meletakkan bukuku di atas meja kecil, baru setelah itu memakai kaosnya.


Apa dia ganti baju karena bajunya kena darah mimisan?



"Yakin nggak bakal muntah habis baca buku-buku tadi?" gurau Jaemin.

"Kan nggak sekaligus juga bacanya," jawabku.

Jaemin memegang bahuku.
"Hm... sebadan isinya otak semua ya?" dia menatapku.

Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now