15. Pembelaan untuk Ivan

690 80 4
                                    

Suasana tempat Adel mengajar masih sama dari hari ke hari. Bahkan murid-murid juga semakin semangat untuk belajar. Tidak hanya belajar bahasa, matematika, ataupun IPS, Adel juga mengajari bagaimana untuk sopan santun kepada orang yang lebih tua, olahraga, bernyanyi, dan tebak-tebakan mengenai hewan atau buah-buahan.

            Seperti sekarang ini, suasana kelas sangat ribut karena mereka sedang bertanya jawab mengenai suara hewan. Adel bahkan sampai tertawa sendiri melihat antusias mereka meniru suara kucing, anjing, ayam, dan lain-lain. Adel sangat jatuh cinta pada pekerjaannya.

            "Pertanyaan terakhir ya, sebelum kita istirahat," ucap Adel sambil melirik jam. "Coba tiruin suara ikan!"

            Mereka semua diam, berpikir bagaimana suara ikan di dalam air. Detik berikutnya, mereka semua tertawa, begitu juga Adel. "Ih, ikan kan gak ada suaranya, kak!"

            Tepat setelah itu, jam Adel berbunyi tanda mereka istirahat. "Sekarang kalian istirahat, ya. Tau kan masuk ke kelas lagi jam berapa?"

            "Jam setengah sebelas, kak," jawab mereka serempak.

            Adel tersenyum. "Pinter. Ya udah, silakan istirahat." Anak-anak cowok langsung berhamburan keluar kelas. Kalau anak-anak cewek rata-rata diam di kelas dan memakan bekal yang dibawakan dari rumah. Setelah makan, baru mereka bermain di luar.

            Adel menghampiri Putri yang sedang duduk di kursi panjang di luar tenda. Wajah Putri tampak tidak seramah dan bersemangat seperti biasanya. Tentu saja Adel peka akan hal ini. "Lo kenapa, Put? Kayak kurang energi gitu." Adel terkekeh.

            Putri menghela napas berat. "Kayaknya gue gak bisa ngajar di sini lagi, deh."

            Mata Adel membulat. Ia menatap Putri dengan tatapan tidak percaya. Kemarin-kemarin, Putri baik-baik saja. Ia masih terlihat bersemangat untuk mengajar. Tapi mengapa sekarang Putri menyerah dengan tiba-tiba?

            "K-Kenapa Put?"

            Putri menatap Adel. "Gue rasa gue gak sehebat lo, Del. Lo bisa rebut hati anak-anak itu. Sementara gue? Mereka gak seluwes kayak kalo lagi di kelas lo, pas di kelas gue." Putri mendengus. "Gue rasa gue gak bakat di sini."

            Adel tersenyum kecil, lalu memegang tangan Putri. "Inget Put, tujuan kita di sini adalah bagi-bagi ilmu ke mereka, bukan jadi ajang 'siapa yang paling disuka' di sini. Lo udah ngelakuin tugas lo dengan sangat bagus, Put. Lo share ilmu lo ke mereka dengan cara lo sendiri. Gue rasa, gak ada yang salah dari itu."

            "Iya, sih. Tapi tetep aja, kalo mereka gak suka sama gue, mereka juga jadi males belajar, kan?"

            "Siapa bilang mereka gak suka sama lo?" tanya Adel. "Buktinya selama ini mereka baik-baik aja sama lo, gak ada yang bertingkah atau mengeluh. Kalo lo emang bener-bener pengen mereka suka sama lo atau luwes di kelas lo, mungkin lo harus ganti method ngajar lo. Selama ini kan lo lebih tegas sedikit ke mereka dibanding gue, coba lo turunin dikit tegasnya, tapi lebih playful dan banyak senyum ke mereka. Mungkin dengan itu, yang lo mau bisa kesampaian."

            "Tapi kalo gue gak tegas, mereka jadi seenak-enaknya nanti."

            Adel mendengus. "Ya, kalo gitu lo harus konsekuen, dong. Ada dampak baik dan buruk di setiap tindakan. Kalo menurut lo dengan cara tegas itu lebih bagus, ya udah, senyaman lo aja. Tapi lo juga jangan protes bagaimana respons mereka ke lo." Adel tersenyum. "Yang penting, selama lo gak jahat atau berbuat negatif ke mereka, itu gak salah sama sekali, Put."

            Putri mengangguk. "Iya, sih. Setiap tindakan pasti ada dampak baik dan buruk. Kayaknya gue turunin dikit ya ketegasan gue?"

            Adel tertawa, lalu ia mengangguk. "Iya, Put. Tegas juga gak salah. Tapi kalau berlebih, kasian juga mereka. Kehidupan mereka di luar sekolah udah berat, kalo diteken lagi dari sekolah, kasian mereka." Adel mengelus lengan Putri, ia tidak ingin Putri merasa down dengan apa yang ia perbuat.

Untold FeelingsWhere stories live. Discover now