2. Ibu Daryl Makhluk Planet

1.2K 129 5
                                    

Kini tubuh Adel baru terasa lelah begitu bokong dan punggungnya mendarat pada jok mobil. Ia meletakan kresek belanjaannya di jok belakang. Tak lupa, mengenakan safety belt setelah itu, sebelum Mama mengingatkannya.

"Dapet bukunya?" tanya Mama lalu melajukan mobilnya.

Adel mengangguk. "Aku beli dua. Takut-takut kalo salah."

Mama mengangguk. "Makasih ya, Del. Terus, berapa tadi total belanjaannya?"

Adel lupa. Ia mengaduk-ngaduk kantung kresek itu lagi untuk melihat kertas bonnya. Setelah mendapatkan, ia langsung membaca totalnya. "Dua ratus delapan sembilan."

"Oh. Terus kembalinya, mana?" Mama memang paling teliti soal uang. Bagi Mama, uang sekecil apapun, itu namanya tetap uang. Mama sangat menghargai yang namanya uang dan ia terapkan pada anak-anaknya.

Adel merogoh tas untuk mengambil dompet. Namun sebelum tangannya meraih dompet pun, ia langsung membeku. Ia ingat betul kalau ia tidak menerima kembalian apapun. Ia langsung mengambil belanjaannya dan pergi. Mati aku.

Adel cengengesan. "M-Maaf, Ma. A-aku lupa ambil kembalinya."

"Hah?!" Adel memejamkan matanya erat karena terkejut dengan lengkingan Mamanya. "Kok bisa lupa, sih? Aduh Adel ... makanya kamu tuh fokus, dong. Jangan pikirannya novel atau hape doang di otak kamu. Apa-apa tuh fokus."

Adel mencebik. Ia paling malas kalau Mamanya sudah ngomel. Mama memang jarang ngomel, tapi kalau sekalinya ngomel, entah mengapa selalu terdengar menyebalkan di telinga Adel.

"Iya, Ma, maaf. Adel gak gitu lagi," ujar Adel dengan suara pelan.

"Kamu mikirin cowok ya, makanya sampe gak fokus gitu."

Mata Adel membulat. "Apaan sih Ma, enggak. Cowok aja gak punya, masa mikirin cowok."

"Gak usah diperjelas kalo kamu gak punya cowok, Mama juga tau."

Adel hanya bisa memutar bola matanya jengah.

--

Suasana ruang makan di rumah Daryl tidak terasa begitu sepi. Walau hanya ada Daryl dan Ibunya, tidak berarti ruang makan itu jadi sunyi senyap. Gelak tawa mereka mengisi ruangan itu. Ayah Daryl sedang lembur, itulah mengapa Ayahnya tidak ada di rumah untuk makan bersama.

Daryl sengaja mengambil jadwal kerja dari pukul sepuluh pagi sampai tujuh malam, agar ia bisa sampai rumah sekitar pukul delapan dan Ibunya tidak kesepian. Ayahnya bekerja di bank, pekerjaannya menuntut pria itu untuk sering pulang larut malam. Daryl dan Ibu sudah terbiasa akan hal itu dari Daryl masih kecil.

"Kamu dong sekarang yang cerita, gimana hari pertama kamu kerja?"

"Ya ... enak-enak aja, sih. Seneng aja bisa layanin orang-orang. Ternyata, banyak juga ya Bu yang suka baca buku. Daryl pikir—"

"Makanya, jangan ngatain Ibumu terus. Bilang Ibu ini makhluk planet, ternyata banyak kan, yang satu spesies sama Ibu." Daryl tertawa. Ia memang selalu mengejek Ibunya dengan sebutan makhluk planet karena Ibunya memiliki dunia dan khayalannya sendiri yang Daryl tidak mengerti.

"Kalo Ibu mah udah parah kutu bukunya. Nggak bisa ditolerir."

"Hus, malah makin-makin nih anak. Awas kamu ngatain Ibu terus, nanti dapet istri yang kutu buku, mingkem koe."

Daryl jadi senyum-senyum sendiri kalau membayangkan seorang istri idaman. "Tapi mending punya istri kutu buku, deh. Daripada kelayapan terus shopping-shopping nggak jelas."

Untold FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang