3. Mama Pelit

1K 114 9
                                    

Adel akhirnya berhasil mengajak Deno ke toilet walaupun harus berbohong. Sebenarnya Adel tidak tega harus berbohong sama Deno. Tapi, mau gimana lagi?

Adel perlahan membuka celana sekaligus dalaman Deno. Tentu saja wajah Adel kini sudah kusam dan kusut. Deno diam saja. Sepertinya dia ingin bertanya di mana Ibunya, tapi ia malu dan takut untuk bersuara. Deno merasa tidak enak pada kakak satu ini.

"Deno bisa cebok sendiri, gak?" tanya Adel.

Deno mengangguk dan Adel bernapas lega. Kini beban yang harus ia pikirkan adalah, bagaimana cara menggantikan celana Deno yang sudah kotor? Tidak mungkin Deno memakai dalaman yang sama kalau kotor seperti ini. Adel menyesal ia tidak terlalu siap untuk mengajar anak-anak. Seharusnya ia memiliki pikiran sampai sejauh ini—membawa celana dalam cadangan untuk anak-anak. Adel mendengus, ia merasa payah.

"Deno?!" suara khas Emak-Emak memasuki telinga Adel.

Deno akhirnya tersenyum. "Ibu."

Adel bernapas selega-leganya dengan kehadiran Ibunya Deno, ditambah lagi Ibu itu membawakan celana untuk Deno. Memang, setiap Ibu manapun merupakan malaikat penolong.

"Aduh Deno, kok bisa BAB di celana, sih? Bikin malu aja," ujar Ibunya sambil sibuk membersihkan bagian kotor Deno. Ibunya Deno menoleh pada Adel, lalu Adel melemparkan senyum ramahnya. "Duh, maaf ya, Neng, jadi ngerepotin. Tadi saya denger dari Pak Rahmat kalo anak saya BAB di celana, jadi saya langsung ke sini. Sekali lagi, maaf ya, Neng."

"Aduh nggak apa-apa kok, Bu. Namanya juga anak kecil. Lagian saya yang harusnya minta maaf, soalnya gak siap sedia sama keadaan-keadaan kayak gini. Untung Ibu datang."

Ibu itu tersenyum. "Nggak apa-apa. Kamu mau ngajarin anak saya secara cuma-cuma saja, sudah bikin saya bersyukur." Adel tersenyum kecil. "Kamu kembali gih ke pekerjaan kamu, biar Deno saya yang urus aja."

Adel mengangguk. "Makasih, Bu." Adel pun pergi meninggalkan mereka, menatap mereka sejenak, dan tersenyum lebar setelah itu.

--

Adel mendaratkan tubuhnya di kasur setelah selesai mandi. Tak lupa, ia mengambil dua novel yang ia beli waktu itu ke kasurnya. Ia menimbang-nimbang, mana duluan ya, yang aku baca?

Yang satu buku Indonesia, yang satu buku terjemahan berhalaman tebal. Sepertinya buku Indonesia yang setebal sekitar tiga ratus halaman akan menjadi pilihan Adel untuk disantap pertama. Namun ia juga penasaran dengan novel fantasi berjudul King's Cage ini. Alhasil, ia membuka Google untuk mencari tahu mengenai buku trilogi itu.

Namun setelah mendapatkan sebuah informasi, rahangnya jatuh. Ternyata buku seri pertamanya berjudul Red Queen. King's Cage adalah buku ketiga dari trilogi itu. Aduh! Aku salah beli, dong?

Kini, ia berdoa agar Mamanya mau berbaik hati membelikan buku yang ia inginkan itu.

Adel pun berjalan menghampiri Mamanya. Mama sedang membaca buku berjudul Bunga Rampai. Itu bukan novel, karena Mama tidak suka membaca novel. Itu buku yang membahas mengenai pekerjaannya, yaitu pengacara. Berbeda dengan Adel yang tidak akan membiarkan novelnya lecak, Mama tidak peduli dengan kerapihan bukunya. Yang penting, selama bisa dibaca, bukan merupakan sebuah masalah besar bagi Mama.

"Ma," akhirnya Adel bersuara. Adel tidak melihat secangkir teh atau kopi di dekat Mama, yang biasanya selalu menjadi teman Mama saat sedang membaca. Hal ini bisa dijadikan Adel sebagai celah masuknya ia untuk meminta uang.

Untold FeelingsWhere stories live. Discover now