4. Salah Tingkah

1K 126 2
                                    

"Papa berangkat, ya." Papa sudah siap dengan kemeja dan dasinya. Ia mengulurkan tangannya untuk disalim. Adel, Rafa—adiknya Adel—dan Mama salim tangan Papa. Papa memang selalu berangkat lebih pagi dari mereka karena jarak kantornya yang cukup jauh.

            Kini tinggal Mama, Adel, dan Rafa. Tentu saja Mama sudah siap dengan baju kerjanya dan Rafa dengan seragam SMA-nya. Sementara Adel masih memakai baju tidur ia semalam.

            "Kamu hari ini gak ngajar?" tanya Mama. Rafa hanya melirik sedikit ke Adel.

            Adel menggeleng. "Aku kan cuma ngajar dari Senin sampe Kamis."

            Mama mengangguk. "Kamu digaji berapa di situ?"

            "Gak ada gaji, Ma. Namanya juga sumbangan."

            "Yah, coba aja kalo ada gaji. Kan lumayan, Mama gak usah kasih uang jajan ke kamu."

            Adel terkekeh. "Dasar pelit."

            "Kenapa kamu gak cari kerjaan yang bisa dapet gaji, sih? Walaupun kecil kan lumayan. Misalnya jadi kasir di toko buku, kek, kan lumayan buat uang jajan kamu. Apalagi kamu kan seneng sama buku."

            Seketika Adel teringat cowok berlesung pipi di Booktopia.

            "Iya, gak kepikiran. Tapi Adel seneng kok ngajar di sini. Anaknya lucu-lucu. Yang penting Adel dapet pengalaman baru, Ma."

            Mama mengangguk setuju. "Bener. Pengalaman gak bisa dibeli dengan apapun."

            Adel tersenyum. Mama jarang setuju dengan ucapan anak-anaknya.

            "Ma, ayo berangkat. Aku belum nyalin PR, nih," ujar Rafa santai dengan wajah datar menyebalkannya itu.

            "Dasar pemales. Liat tuh, karena kamu males, dampaknya jadi ke Mama. Coba kalo kamu rajin, kan Mama gak perlu buru-buru."

            "Iya, Ma." Iya iya aja biar cepet, pikir Rafa.

            "Ya udah, yuk." Mama beranjak dari kursi makannya, tak lupa mengelap bibirnya dengan tisu. Mama mencebik melihat Rafa malah asyik dengan ponselnya. "Tuh kan, malah hapean. Lama, Mama tinggal." Mama langsung berjalan keluar rumah dengan suara high heels-nya yang semakin menjauh seiring Mama berjalan. Rafa mencebik, padahal ia sedang menggunakan Wi-Fi rumah sebelum detik-detik ia berpisah dengan Wi-Fi.

            Adel tersenyum lebar. Ia paling suka di rumah sendirian. Tapi, sebelum menikmati kesendiriannya di rumah, Adel harus ke toko buku. Ia harus membeli buku dongeng anak-anak sesuai dengan ide Putri, dan juga, membeli novel kebutuhannya. Ah, Adel tidak sabar memeluk novel itu!

--

Akhirnya, Adel sampai juga di Booktopia tepat pukul sepuluh—jam toko itu buka. Ia membuka pintu toko dan bibirnya tersenyum lebar melihat buku-buku menyambut kedatangannya. Ia memang selalu tersenyum lebar setiap kali memasuki toko buku.

            Asyik berjalan dengan toko yang masih sepi, Adel sampai tidak sengaja bertubrukan dengan seseorang yang tengah membawa tumpukan buku di tangannya. Adel menganga lebar, dan segera membantu membereskan buku-buku berserakan yang masih dibungkus plastik.

            "Duh, maaf ya, Mas," ucap Adel lalu memberikan tiga buku yang ia dapat di lantai kepada si pelayan toko buku itu. Namun tubuh Adel terasa membeku setelah itu, setelah melihat Daryl ada di hadapannya.

            Daryl tersenyum. Jujur saja, ia belum siap bertemu dengan wajah manis milik Adel. Ketidaksiapannya itu membuat jantungnya bekerja tidak normal. Tapi Daryl tetap harus profesional di depan Adel.

Untold FeelingsWhere stories live. Discover now