28. my vacantness

Start from the beginning
                                    

Langkahku berhenti, perlahan aku berbalik lagi menghadap Jaemin yang masih diam di tempat ㅡtersenyum hambar menatapku.
Dugaanku benar, Jaemin menahannya. Dan bahkan sekarang aku hanya bisa menghindari tatapannya.


"Selama ini aku nggak pernah tanya, karena aku nggak cukup berani," ujar Jaemin. "Aku takut sama kemungkinan jawabannya."

"Jawaban... jawaban apa?" tanyaku bingung.

Lagi-lagi Jaemin tersenyum.
"Aku kadang merasa egois. Tiba-tiba aku masuk lagi seenaknya ke kehidupan kamu, tanpa tanya dulu ㅡudah ada orang lain atau belum. Aku nggak pernah berani tanya, Alice..."


Jaemin mengatakan itu semua dengan begitu tenang, tapi aku melihat jari-jarinya mengepal erat.

"Karena takut jawabannya bukan aku, tapi orang lain..." lanjutnya. "Aku... takut selama ini kamu cuma terpaksa."

"Sama kayak hari ini. Aku takut waktu nggak sengaja denger suara kamu di telepon Jaehyun hyung, aku takut waktu liat ternyata emang kamu yang sama Mark hyung," kata Jaemin.
"Tatapan kamu ke dia... selalu beda. Dan sebaliknya. Aku nggak pernah tau apa yang terjadi, tapi juga nggak berani tanya ㅡtakut sama jawabannya."


Sejenak Jaemin memejamkan mata, menghela nafas. Seakan-akan ia lega sudah mengatakan semua itu, atau mungkin sebenarnya dia sedang menahan kemarahan...








"Jaemin, akuㅡ nggak tau harus mulai darimana..." ucapku setelah jeda keheningan cukup lama.

"Aku nggak minta penjelasan apapun, kok," Jaemin menggeleng tenang. "Maaf... aku nggak bisa menahan diri. Iya, aku cemburu. Tapi cukup itu aja, aku nggak mau kamu terganggu."


Jaemin yang biasanya terang-terangan menggodaku, mengaku kalau dia cemburu dengan muka merah menahan gengsi. Aku speechless.

"Aku pulang ya," Jaemin tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa, sambil menepuk-nepuk kepalaku. "Masuk sana, kamu butuh istirahat."


Biasanya Jaemin akan menungguku masuk rumah dulu, baru di sendiri pergi. Tapi sekarang dia langsung pergi duluanㅡ bahkan sebelum aku membalas salam perpisahannya.

Apa aku sudah menyakiti Na Jaemin?








Aku meremas kain jaket di bagian dada, yaㅡ karena bagiku juga menyakitkan mendengar Jaemin berkata begitu. Terkesan sangat sedih alih-alih marah. Ia berjalan tanpa menoleh lagi, sementara aku masih membeku di tempat karena bingung harus bagaimana.

Bunyi 'bruk' pelan terdengar saar aku melepas pegangan pada tas, membiarkan benda itu jatuh ke tanah. Aku berlari kecil menuruni jalan setapak ㅡuntuk mengejar Jaemin.


Jaemin tidak berbicara apapun saat aku tiba-tiba memeluknya dari belakang, menahan langkah kakinya. Aku yakin tadi dia dengar langkah kakiku, tapi dia memilih terus berjalan. Sekarang dia berhenti, terdiam dalam dekapanku.
Agak terengah, aku mengumpulkan keberanian sebelum mulai bicara.


"Kemarin handphone-ku nggak sengaja tertukar sama punya Mark, waktu reuni kelas. Tadi niatnya mau ketemu buat ngembaliin handphone. Tapi aku lupa waktu di kampus, karena aku telat berjam-jam Mark jadi ketemu sama temen lamanya dan mereka minum.
Terus orang itu pergi, aku nggak bisa kan tinggalin Mark ㅡsendirian, mabuk, di pinggir jalan?" jelasku panjang lebar, dan amat perlahan.
"Maaf... bukannya aku nggak mau kamu tau. Aku juga takut... hubungan kalian jadi aneh gara-gara aku."


Jaemin tetap bergeming, aku hanya bisa merasakan nafasnya yang naik turun.


"Aku bohong kalau bilang nggak ada apa-apa antara aku sama Mark. Karena selama kamu nggak ada, cuma dia yang tau masalah hidup aku. Dia bantu banyak hal...
Aku nggak bisa nggak peduli sama dia, atau nggak khawatir kalau dia kenapa-kenapa. Mark salah satu orang paling baik yang pernah aku kenal," lanjutku.
"Tapi dia nggak pernah bermaksud lain, kalau itu yang kamu takutkan. Mark orang baik, kamu nggak boleh berprasangka buruk sama dia. Jangan..."

Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now