1. Pertemuan Pertama

Mulai dari awal
                                    

            "Oh, sebelah sini." Cowok jangkung itu berjalan diikuti oleh Adel. Sedari tadi Adel menyuruh jantungnya untuk bekerja normal, namun jantungnya tidak mau mendengarnya. Wajah tampan cowok itu membuat jantung Adel tidak ingin diajak kompromi untuk saat ini. "Ini kak, silakan."

            Adel tersenyum. "Makasih." Suaranya nyaris hilang karena tenggorokannya yang kering tiba-tiba. Adel benci suaranya.

            Cowok itu tersenyum. "Sama-sama." Ia pergi meninggalkan Adel sendiri. Adel akhirnya bisa bernapas dengan normal setelah cowok itu pergi.

            Cowok itu, Daryl, menghembuskan napasnya lega setelah berbincang dengan salah satu pelanggannya tadi, Adel. Sebenarnya jantung cowok itu berdegup sungguh kencang. Entah karena dia habis berbincang dengan pelanggan pertamanya, atau karena memang wajah Adel yang memberikan sengatan tersendiri bagi Daryl.

            Seseorang menepuk bahunya, membuat Daryl terlonjak kaget. Namun akhirnya ia terkekeh setelah melihat Pamannya lah yang melakukan itu.

            "Bagus, Nak. Tadi Om lihat kamu sudah mulai berbincang sama customer. Harus tetap seperti itu, ya. Yang penting jangan berlebihan, jangan menguntit mereka terus-terusan. Cukup sekali, yang penting kamu sudah menawarkan bantuanmu."

            Daryl tersenyum dan mengangguk. Ini adalah hari pertama ia bekerja sebagai pelayan toko buku milik Pamannya ini. Ada tugas kampusnya yang mengharuskan para mahasiswanya mengambil kerja dan membuat laporan dari apa yang mereka lakukan. Sebenarnya ini menyenangkan bagi Daryl, karena ia lebih memilih melakukan tugas seperti ini daripada harus berkutik di depan laptop atau soal-soal dengan jumlah tidak manusiawi yang harus ia hadapi. Tapi yang menyebalkannya adalah, tugas ini dilakukan saat ia sedang libur.

            "Tapi Om ingetin lagi, ya. Jangan pilih-pilih customer yang mau kamu layani. Mentang-mentang bening, langsung kamu layani. Kalau abang-abang alay nanti kamu nggak mau layani, lagi."

            Daryl terbahak, diikuti oleh Pamannya. "Nggak lah, Om. Tadi karena kebetulan aja."

            Paman mengangguk-ngangguk. "Om percaya sama kamu. Nanti ada shift kamu untuk kerja di bagian kasir juga, kan?"

            "Iya, Om."

            "Bagus. Semangat, ya." Paman menepuk lengan Daryl dua kali lalu meninggalkan cowok itu. Diam-diam, Daryl kembali ke rak buku-buku masak tadi, ia ingin melihat Adel. Siapa tahu, Adel masih kebingungan dan memerlukan bantuan.

            Namun begitu ia sampai di rak buku masak tadi, sudah tidak ada siapa-siapa di sana.

--

"Kamu di mana?" tanya Mama dari seberang telepon, mengingatkan Adel kalau ia harus pulang.

            "Masih di toko buku, Ma."

            "Kok lama?"

            "Ini baru mau pulang kok, sabar." Sebenarnya kalau Mama tidak kunjung menelepon, Adel akan lupa waktu untuk pulang.

            "Ya udah, Mama jemput kamu aja, sekalian ini Mama lewatin Booktopia, kok." Adel menghela napas panjang, tidak perlu repot-repot lagi berdesakan dan menunggu busway. "Nih bentar lagi nyampe, cepetan." Adel memutar bola matanya. Ia paling sebal dengan intonasi bossy milik Mamanya.

            "Iya iya Ma. Ya udah aku ke kasir dulu." Adel langsung menutup teleponnya.

            Setelah menimbang-nimbang, ia akhirnya memutuskan untuk mengambil buku berjudul King's Cage. Sebenarnya itu buku trilogi, dan Adel memutuskan untuk membeli buku seri pertamanya terlebih dulu. Dari sinopsis yang ia baca, buku ini pasti bisa memuaskannya.

            Ia menuju kasir dan menatap pintu kaca, memandang langit yang sebentar lagi gelap. Ia benar-benar tidak sadar waktu. Kalau cewek-cewek lain akan berlama-lama dalam membeli baju, maka Adel akan berlama-lama dalam membeli buku. Dan itu alasan Mama tidak ingin menemaninya setiap ia mau pergi ke toko buku. Mama tidak suka membuang-buang waktu.

            Akhirnya Adel sampai di depan kasir. Ia menyerahkan tas belanjaannya yang berisi dua buku novel miliknya dan dua buku masak milik Mamanya. Gadis itu menaikan kacamata bulatnya ke atas kepala, lalu tersenyum, dan mendongak pada penjaga kasir.

            Rahangnya bisa saja jatuh kalau Adel tidak pandai mengontrol diri. Pasalnya, lagi-lagi, Daryl yang kini melayaninya. Daryl tersenyum, lesung pipinya membuat Adel menelan ludahnya.

            "Saya pikir kamu udah pulang daritadi," ucap Daryl sambil fokus melakukan tugasnya—menghitung jumlah uang yang harus dibayarkan Adel.

            Jantung Adel berdegup kencang. Berarti dia perhatiin aku dong? Adel langsung berdeham. "Belum, kok."

            "Totalnya jadi dua ratus delapan puluh sembilan ribu. Punya kartu member-nya, kak?"

            Adel menggeleng sambil mengeluarkan dompetnya.

            "Mau buat dulu? Bisa dapet potongan sepuluh persen lho setiap pembelian di atas seratus ribu."

            Adel tergiur. Sebenarnya ia tidak terlalu fokus pada tawaran jika memiliki kartu member itu. Tapi kalau ia membuatnya sekarang, berarti ia akan memiliki tambahan waktu untuk berinteraksi dengan cowok berlesung pipi ini.

            "Bo—" ucapannya terpotong, karena ponselnya berbunyi. Bibirnya mencebik melihat tulisan Mama di ponselnya. "Gak jadi deh, Mas. Ibu saya udah jemput."

            Daryl tersenyum. "Iya, nggak apa-apa."

            Adel memberikan uang tiga ratus ribu pada Daryl, lalu mengambil kantong belanjaan yang sudah dibungkus Daryl, dan pergi dari sana.

            "Lho ... kembaliannya?"

****

selamat datang di ceritaku yang baru! yukyuk, kenalan dulu sama daryl dan adel di sini:p jangan lupa juga ya baca ceritaku yang satunya an introvert man's love life. makasih banyak udah mau luangin waktu kalian untuk baca ini!<3

Untold FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang